JAKARTA – Kolaborasi lintas disiplin menjadi kunci tercapainya target Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 10,5 gigawatt (GW) pada tahun 2035. Berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, industri, akademisi, media, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan transisi energi berjalan lancar menuju tujuan Indonesia Emas pada tahun 2045 dan emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Pengembangan energi panas bumi yang memiliki cadangan besar di Indonesia harus digalakkan untuk mendukung ketahanan energi nasional. Kolaborasi ini diharapkan tidak hanya mengembangkan sektor energi, namun juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin dunia dalam sumber energi terbarukan. Dengan menggunakan metode pentahelix, setiap kelompok diharapkan berkontribusi sesuai perannya.
Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE), Julfi Hadi mengatakan, Indonesia saat ini memiliki cadangan energi panas bumi terbesar kedua di dunia dengan kapasitas 23,7 GW, namun pemanfaatannya masih kecil, hanya 2,2 GW. PGE berkomitmen memperkuat kemitraan dengan terus mengembangkan kemampuan PLTP untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
“Dalam dua hingga tiga tahun ke depan, PGE menargetkan peningkatan kapasitas sebesar 1 GW dan tambahan 1,5 GW pada tahun 2030,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Peran Kunci Industri Panas Bumi dalam Kebijakan Transisi Energi dan Pencapaian Golden 2045 Indonesia Target.” di Jakarta, dikutip Jumat (25/10/2024).
Menurutnya, PGE juga mengadopsi teknologi baru seperti pompa listrik submersible dan flow meter dua fase untuk meningkatkan efisiensi operasional. Investasi untuk mencapai tujuan tersebut diperkirakan sebesar USD 17-18 miliar, yang berdampak signifikan terhadap PDB nasional sebesar USD 21-22 miliar.
Dari sisi penurunan emisi, lanjut Julfi, energi panas bumi mempunyai potensi yang besar. Dengan pengembangan yang tepat, energi panas bumi di Indonesia diperkirakan mampu menurunkan emisi gas rumah kaca tahunan sebesar 18-20 juta m³ CO₂.
“Komitmen ini tidak hanya mendukung transisi energi ramah lingkungan, namun juga memberikan kontribusi langsung terhadap upaya global memerangi perubahan iklim,” ujarnya.
Sektor ini mampu menciptakan hingga satu juta lapangan kerja baru, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berdampak positif terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat lokal terkait proyek panas bumi.
Namun, lanjut Julfi, tantangan yang dihadapi pengembangan panas bumi tidaklah kecil. Salah satu kendala terbesarnya adalah risiko pengeboran, dimana hasil pengujian seringkali lebih rendah dari yang diharapkan. Proses penambangan untuk dijual juga memakan waktu yang lama, yakni 5 hingga 15 tahun. Selain itu, peraturan yang rumit dan lambatnya perizinan merupakan hambatan utama dalam menarik investasi di sektor ini.
Oleh karena itu, diperlukan dukungan politik yang fleksibel dan insentif yang memadai untuk mempercepat pengembangan energi panas di Indonesia, ujarnya.
Pada acara itu, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Bidang Konsumen Dina Nurul Fitria menekankan pentingnya kerja sama pemerintah dan industri dalam menghadapi tantangan global. Pemerintah harus memastikan kepastian peraturan dan insentif yang mendukung pengembangan energi terbarukan, termasuk panas bumi. Pemerintah pusat dan daerah diharapkan memberikan dukungan melalui penyederhanaan alokasi lahan dan kebijakan untuk mendorong pengembangan infrastruktur energi terbarukan.
Pemasangan sumber energi terbarukan di seluruh Indonesia juga merupakan langkah penting untuk mencapai tujuan integrasi energi nasional. Dengan dukungan yang tepat, energi panas bumi dapat menjadi solusi strategis untuk mencapai ketahanan energi di Indonesia, ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menyampaikan pentingnya kerja sama antar berbagai sektor untuk mendukung pembangunan panas bumi yang berkelanjutan. Pengembangan panas bumi tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, namun juga menjamin stabilitas energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi.
Komaidi mencatat, biaya operasional PLTP jauh lebih murah dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, yaitu rata-rata Rp 107,15/kWh. Selain itu, daya operasi puncak PLTP hampir sama dengan pembangkit listrik tenaga nuklir, sehingga memungkinkan efisiensi yang lebih tinggi dalam jangka panjang. “Tantangan regulasi dan biaya awal yang tinggi masih menjadi kendala bagi banyak investor,” ujarnya.
Untuk mengatasi tantangan ini, Komaidi menekankan pentingnya dukungan politik tingkat tinggi untuk penciptaan nilai dari alternatif panas bumi. Misalnya, negara-negara seperti Selandia Baru dan Jepang telah berhasil menggunakan produk turunan seperti ekstraksi hidrogen mentah dan silika untuk meningkatkan keekonomian proyek panas bumi. Indonesia juga mempunyai potensi besar untuk mengembangkan produk tersebut sebagai bagian dari industri energi terbarukan. Oleh karena itu, pengembangan panas bumi dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi negara dan mendukung tujuan transisi energi ramah lingkungan. “Kerja sama antar instansi terkait menjadi kunci untuk mencapai kemampuan tersebut,” ujarnya.
Para pembicara juga sepakat bahwa keberhasilan pengembangan energi panas bumi di Indonesia bergantung pada komitmen kolektif semua pihak yang terlibat. Pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan kebijakan yang mendukung dan mendukung pengembangan energi terbarukan.
Dukungan media yang kuat juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam transisi energi ini. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat menjadi pemimpin global dalam penggunaan energi panas dan mencapai tujuan ketahanan energi berkelanjutan.