LOMBOK BARAT – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V membantu Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam menertibkan penambangan emas ilegal di Dusun Lendek Bare, Sekotong, Lombok Barat.
Hal ini dilakukan sesuai dengan tugas dan wewenang Komite Pemberantasan Korupsi untuk mendukung optimalisasi pajak atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menjadi salah satu fokus Monitoring Center for Prevention (MCP).
Tujuannya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pendapatan daerah. Hal itu dibenarkan Ketua Satgas Tipikor Wilayah V KPK, Dian Patria, kepada wartawan NTB, Sabtu (5 Oktober 2024).
Menurut dia, aktivitas penambangan liar di Hutan Produksi Terbatas (HPT) diperkirakan akan dimulai pada tahun 2021 dan diperkirakan menghasilkan omzet hingga Rp90 miliar per bulan atau sekitar Rp1,08 triliun setiap tahunnya.
Angka tersebut berasal dari tiga cadangan (tempat penyimpanan) dalam satu lokasi penambangan emas di kawasan Sekotong, yang luasnya sebesar lapangan sepak bola. “Ini hanya satu lokasi dengan tiga perbekalan. Dan yang kami tahu, mungkin ada satu lokasi lagi di sebelahnya,” ujarnya.
“Belum lagi yang di Lantung, yang di Dump, yang di Sumbawa Barat, bulanannya berapa?” “Bagi negara, kerugiannya bisa triliunan,” jelas Diane.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), tercatat terdapat sekitar 26 lokasi penambangan liar di kawasan Sekotong yang berada di lahan seluas 98,16 hektare. Hal ini menunjukkan potensi kerugian pemerintah.
Selain itu, penambangan liar tidak membayar pajak, royalti, retribusi tetap, dan lain-lain. Dian juga mengungkapkan adanya dugaan persekongkolan antara pemegang izin usaha pertambangan (UP) dengan pelaku penambangan ilegal.
Meski kawasan tersebut telah memiliki izin pertambangan resmi dari PT Indotan Lombok Barat Bangkit (ILBB), namun penambangan liar masih diperbolehkan adanya. Papan nama IUP ILBB sebenarnya baru dipasang pada Agustus 2024, setelah tambang tersebut beroperasi bertahun-tahun.
“Kami melihat di sini ada potensi modus operasi di mana pemegang izin tidak berurusan dengan penambangan liar, mungkin untuk menghindari pembayaran pajak, royalti, dan kewajiban lainnya kepada negara,” jelasnya.
Selain itu, sebagian besar alat berat dan bahan kimia yang digunakan di tambang ilegal tersebut diketahui diimpor dari luar negeri, termasuk merkuri yang diimpor dari Tiongkok. Alat berat dan terpal khusus yang digunakan untuk proses penyemprotan sianida ini berasal dari China.
Yang kemudian menambah kompleksitas permasalahan. Limbah merkuri dan sianida yang dihasilkan dari proses pengolahan emas juga berpotensi mencemari lingkungan sekitar, termasuk sumber air dan pantai di bawah area penambangan.
Pengurus Harian (Plh) Kepala DLHK NTB Mursal mengungkapkan, tambang emas ilegal di Sekotong merupakan yang terbesar di Pulau Lombok dan salah satu yang terbesar di NTB. Ia juga menekankan dampak positif kehadiran Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam membantu penegakan hukum.
Ia berharap BPK lebih sering bekerjasama dengan penegak hukum setempat, karena kehadiran BPK memberikan dukungan moral dalam penegakan peraturan di kawasan hutan produksi terbatas (HTP).
“Kami merasa lebih aman karena kegiatan ilegal seperti ini sering diback-up,” imbuhnya.