Menakar Perlu Tidaknya Pelucutan Senjata Api Polisi

Menakar Perlu Tidaknya Pelucutan Senjata Api Polisi

JAKARTA – Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menilai gagasan penyingkiran senjata api anggota polisi penting untuk dipertimbangkan. Menurut dia, gagasan anggota DPR terhadap maraknya kasus penyalahgunaan senjata api oleh aparat kepolisian, termasuk di Solok, Sumbar, dan Semarang, patut dilanjutkan.

Gagasan yang diajukan anggota Komisi 3 DPR beberapa waktu lalu untuk menilai apakah senjata polisi masih diperlukan, apakah perlu tekanan untuk melucuti senjata polisi, saya kira ini penting untuk dipertimbangkan dan harus diikuti, kata Arif. konferensi pers mendesak tentang Reformasi Kepolisian: Mengakhiri Penggunaan Senjata Tanpa Diskriminasi dan EC oleh Polisi pada Minggu (12/08/2024).

Sebab menurutnya, tidak semua fungsi kepolisian membutuhkan senjata api. Dia mencontohkan fungsi polisi dalam pelayanan masyarakat, sumber daya manusia (SDM) dan Korlantas yang tidak memerlukan senjata api.

“Lagi pula, penting untuk menyampaikan pesan bahwa penggunaan senjata api oleh polisi adalah bagian kecil dari upaya kita untuk memajukan reformasi kepolisian, yang kita lihat saat ini tidak sejalan dengan semangat mendorong reformasi kepolisian,” katanya.

“Tujuannya agar polisi demokratis dan menghormati HAM, tidak menggunakan pendekatan kekerasan seperti pada masa Orde Baru yang satu atap di bawah ABRI yang sangat militeristik. Yang kita lihat saat ini polisi sangat militeristik,” tutupnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi menilai seruan perlucutan senjata api oleh anggota Polri bukanlah solusi yang tepat. “Ya, bayangkan saja polisi bersenjatakan tongkat. Sedangkan pemetik sepeda kini menggunakan senjata rakitan Cipacing. “Saya rasa itu bukan keputusan yang tepat karena aparat kepolisian sebagai aparat penegak hukum harusnya tetap membawa senjata,” kata Isla, Senin (12/9/2024).

Selain itu, kata dia, banyak anggota polisi yang kini menjadi korban penembakan penjahat jalanan. Ia juga mengingatkan, meski ada undang-undang darurat, namun masih banyak yang rela melanggar undang-undang darurat demi memiliki senjata.

Ia mengatakan, polisi bersenjata tidak hanya ada di Indonesia. Dia mengatakan semua petugas polisi di negara lain memiliki senjata api. “Di Amerika ada orang yang membawa senjata bius. Tidak masalah apakah senjata api itu di kiri atau di kanan,” katanya.

“Setiap lembaga penegak hukum di setiap negara mengatakan, kecuali mungkin departemen pengendalian massa, polisi anti huru hara, ya, mereka pasti tidak akan dilengkapi dengan senjata api, peluru tajam. Tentu tidak, mungkin jika pelurunya kosong. , “lanjutnya.

Islah juga mengingatkan, solusi yang diajukan DPR bukan dengan melucuti aparat kepolisian, melainkan memperketat regulasi. Ia mencontohkan, ada tes psikologi berkala bagi pemilik senjata api yang berlatih agar tidak salah tembak.

“Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik senjata api sebenarnya juga dilakukan oleh polisi. Bahkan warga sipil yang memiliki izin kepemilikan senjata pun juga melakukan pelanggaran. Artinya, ini bukan masalah senjata, ini masalah moral. Itu hanya masalah psikologis, mental,” jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, sangat disayangkan jika polisi tidak bersenjatakan senjata api dan menjadi mainan para pelaku pencurian atau perampokan kendaraan bermotor. “Senjata rakitan saat ini sangat mudah didapat. Bahkan airsoft gun pun bisa dimodifikasi menjadi senjata peluru tajam. Jadi menurut saya itu bukan solusi. Ya, menurut saya, lupakan saja saran-saran seperti itu,” tutupnya.

DPR: Program pengembangan spiritual harus diperkuat

Anggota Komite III DPR dari Fraksi PKS Aboebakar Alhabsy menyoroti serangkaian peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota polisi dalam kurun waktu kurang dari sebulan, seperti polisi menembaki polisi di Solok Selatan hingga anggota Polres Metro Bekasi hingga tewas. seorang ibu kandung yang menggunakan gas elpiji di Cileungsi, Bogor.

“Semua itu menarik perhatian masyarakat dan menimbulkan pertanyaan mengapa hal seperti ini bisa terjadi,” kata Aboebakar dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Selasa (12/10/2024).

Aboebakar menilai, kejadian ini tidak hanya meresahkan, tapi juga menimbulkan pertanyaan besar terhadap mental, spiritual, dan integritas aparat kepolisian. Menurutnya, seluruh pegawai Polri harus menunjukkan kedisiplinan dan tanggung jawab yang tinggi.

“Sebagai salah satu lembaga yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, kepolisian harus mencerminkan kedisiplinan, ketenangan, dan tanggung jawab yang tinggi dalam segala tindakannya,” ujarnya.

Meski demikian, Sekjen PKS menyarankan agar pembinaan mental dan spiritual seluruh personel Polri bisa ditingkatkan secara signifikan. Tujuannya untuk menstabilkan kesehatan mental setiap anggota Korps Bhayangkara.

“Pembangunan ini penting untuk memastikan setiap anggota memiliki kestabilan emosi, sikap dewasa, dan nilai moral yang kuat dalam menjalankan tugasnya. Agar dapat menangani beban tugas yang berat dengan baik,” ujarnya.

“Program pengembangan spiritual juga harus diperkuat, antara lain melalui pendekatan keagamaan dan pembentukan karakter yang berorientasi pada pengabdian kepada masyarakat,” lanjutnya.

Ia pun berharap Polri segera mengusut rangkaian peristiwa kekerasan tersebut. Ia mengatakan, polisi bukan hanya lembaga penegakan hukum, tapi juga garda depan menjaga kepercayaan masyarakat.

“Atas kasus-kasus yang muncul, Polri harus melakukan introspeksi menyeluruh dan berkomitmen memperbaiki sistem internal, terutama terkait pembinaan personel,” tegasnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *