Ahmad Shihabuddin
Kegiatan komunikasi selalu mengundang konsekuensi etis. Faktanya, proses komunikasi telah distandarisasi dan terikat pada nilai-nilai normatif tertentu sejak awal. Nilai-nilai etika tersebut merupakan kristalisasi dari proses interaksi sosiologis antar manusia dalam konteks dan lingkungan sosial budaya dan politik tertentu.
Opini publik dunia sedang memperbincangkan “kalimat” pendakwah kondang Gus M yang kini sangat populer. Maksudnya pengkhotbah mengolok-olok penjual minuman atau es yang belum terjual betavi. Itu adalah tempat dan lingkungan yang salah untuk acara konferensi yang dihadiri banyak jamaah dan ulama lokal yang duduk di podium.
Saya tidak akan membahas kejadian ini karena sudah banyak orang yang melihatnya di berbagai platform media, YouTube, dll. melalui artikel, komentar lisan, podcast, acara bincang-bincang, lelucon, lagu komedi, dll. Hal itu dikaji secara komprehensif oleh para ahli. Hal ini membuktikan bahwa interaksi manusia tidak dapat diubah, seperti halnya waktu, sedetik pun tidak dapat terulang.
Ketika pesan yang keluar dari mulut kita, maka itu bukan milik kita, melainkan milik khalayak yang menerimanya, dan khalayak bebas mengartikan dan menafsirkan segala sesuatunya. Setiap permintaan maaf ditujukan kepada “korban” dan masyarakat. Tidak dapat diubah lagi, permintaan maaf akan terkesan tidak valid dan tidak akan berpengaruh pada opini publik netizen. Bahkan, usai permintaan maaf tersebut, gaya dan karakter Toy justru menjadi konten baru bagi netizen.
Karena kejadian itu, saya ingin menulis kembali hakikat hasil penelitian Taramani yang saya pelajari dan arsipkan pada tahun 1990 tentang Seng-Sengan sebagai tradisi lisan masyarakat Petavi. Saya sangat menyukai hasil penelitiannya tentang “Peran Bahasa dalam Budaya Komunikasi”. Salah satu ciri khas budaya masyarakat Petawi yang unik disebut ngeceng dan cheng-chengen.
Kita berharap hal ini relevan dengan opini masyarakat dunia yang membicarakan pemberitaan “Si Da’i” yang artinya Ngeceng. Namun menurut Darmani (1990), Ngeceng memperhatikan etika, adat istiadat, dan situasi waktu dan tempat. Di bawah ini saya sajikan intisari tradisi lisan yang berlaku pada masyarakat Petavi.
Merangsang sebagai kegiatan komunikatif
Berteriak, mengejek, mengejek dan kata-kata lainnya merupakan ciri yang sangat menonjol pada sebagian besar masyarakat petawi. Komedi mempunyai hubungan erat dengan cheng-chengen dan akan dibahas dalam artikel ini. Cheng-chengan, kegiatan komunikasi bernada humor, penuh humor dalam percakapannya. Maka tak heran jika acara ini disambut dengan banyak gelak tawa. Sebagai kegiatan komunikasi Ngeceng tetap perlu memperhatikan etika.
Mengenai komunikasi Ngeceng, jika komunikator dan komunikatornya cocok maka proses Ngeceng akan berhasil (Menurut Wilburn Schramm, komunikasi akan berhasil bila pesan terkirim. Komunikator mementingkan pengalaman dan pemahaman yang didapat dari komunikasi.) .
Bidang pengalaman juga merupakan faktor penting dalam komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator dan bidang komunikator sama, maka komunikasi akan berjalan lancar. Di sisi lain, jika pengalamannya berbeda, komunikasi bisa jadi sulit.
Bahasa berperan penting dalam menciptakan intuisi dalam proses komunikasi karena bahasa merupakan alat komunikasi. Teknik penguasaan bahasa juga mempunyai peranan yang kurang penting: kehalusan, ironi atau sindiran. Hal ini tergantung pada konteks dan keakuratan siapa yang diajak bicara.
Terkadang digunakan dengan nada yang serius, terkadang dapat digunakan dengan nada yang santai, bernada sarkastik atau bahkan sarkastik, terutama untuk remaja, dapat digunakan dalam situasi yang santai.
Pemindaian periode
Istilah yang lebih cocok untuk istilah ini belum ditemukan dalam literatur bahasa tersebut, khususnya dialek Petavi. ngeceng atau ceng-cengan merupakan salah satu kata yang muncul dari kosa kata baru dalam dialek Petawi yang disebut dengan bahasa perkembangan “populer” atau bahasa “prokem”. Jika demikian, niscaya kata ngeceng akan hilang dan nantinya akan digantikan dengan kata lain.
Setidaknya anak muda pada tahun 1970-an dan 1980-an pernah mendengar istilah neo-cope. Sayangnya, istilah ini kurang tepat digunakan karena memiliki arti yang sama dengan perzinahan. Tapi berikut ini contoh untuk memperjelas, saya harap dapat dimengerti. Kata neogap merupakan kata kerja dengan kata benda kogap yang berarti pezina. Topik perzinahan kini sudah hampir ketinggalan zaman.
Ironisnya, arti kata nyokap kini berubah menjadi “ibu”. Anak muda jaman sekarang sering menyebut “Neokap Okut” yang artinya Ibu, dan “Pokap Okut” yang berarti Ayah. Dahulu orang biasa mengatakan “bogap okut” untuk “ayah”, namun alih-alih “neokap” untuk “ibu”, yang digunakan adalah “anyak okut”, yang berarti “ibu saya”.
Contoh kata-kata ini Saat kamu melihatnya,Agak trendi, meskipun tidak membosankan. Pemahaman saya adalah bahwa kata “progame” adalah varian sublingual dari Argot (kosa kata yang dikembangkan di dunia hitam) dan Kant, kosakata yang dikembangkan di kalangan pekerja lapangan kerah biru, bukan kelompok profesional.
Istilah Ngeceng sudah lama dikenal oleh masyarakat Petawi di Kemayoran dan masih digunakan dalam praktik hingga saat ini. “Dari pertama aku gigit setrika, ngeceng ude ade, lagipula ini bukan hal baru.” Di Camayoran, seorang tokoh lansia berkata dengan gaya unik: Nceceng sudah menjadi bagian dari tatanan sosial masyarakat Betawi.
Memberi semangat sebagai sentuhan pribadi
Dalam ilmu komunikasi, cheng-chengen merupakan kegiatan komunikasi interpersonal yang sering disebut dengan komunikasi berdedikasi. Kegiatan ini berlangsung secara tatap muka antara dua orang atau lebih. Ciri komunikasi antarpribadi adalah bersifat dua arah (two way communication).
Secara gramatikal, ngeceng merupakan salah satu jenis kata kerja. Kalau verbanya timbal balik maka bentuknya cheng-chengen. Istilah ini memiliki definisi yang longgar; cheng-chengan merupakan kegiatan komunikatif yang dilakukan antar individu dalam suatu kelompok (Tharmani, 1990). Seringkali menggunakan kata-kata dengan nada lucu, baik secara langsung atau tidak langsung menurut standar mereka yang terlibat dalam proses tersebut.
Komunikasi interpersonal yang didukung oleh pengalaman bersama lebih efektif karena respon komunikatif dapat berupa respon verbal langsung dan nonverbal berupa tindakan fisik.
Begitu juga seng-sengken sebagai semacam proses komunikasi, karena kalau dilihat proses antara pesan dan arus balik jauh lebih cepat. Seolah-olah tidak ada satupun penghalang antara komunikator dan komunikator yang begitu mulus, hal ini disebabkan oleh kesatuan pengalaman.
Jika diperhatikan berbagai kata yang digunakan dalam Cheng-chengen, terkesan diucapkan dengan santai, mungkin “lucu” begitu orang awam menyebutnya. Namun bagi generasi muda yang bisa melakukan hal tersebut, yang membuat seni seolah menjadi seni adalah tingkat keberagaman kata-katanya. Karena kata-katanya sangat beragam, latar belakang sosial, perilaku ceria, dan manfaat menjaga hubungan antar generasi muda akan menarik minat Anda di sini.
Ngeceng sebagai kegiatan komunikasi masyarakat Petawi.
Ciri khas acara Cheng-chengen adalah penggunaan kata-kata yang seringkali bernada humor, selalu berlangsung dalam suasana meriah dan penuh gelak tawa. Istilah Ngeceng cukup populer di kalangan masyarakat Petawi khususnya di kalangan anak muda, namun mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat lain.
Melalui berbagai tayangan drama di media, baik sinetron, film, komedi berlatar belakang budaya Petawi, adegan seperti film yang dibintangi mendiang Benyamin S, Bokir, Anen biasanya selalu ada bagian “Seng-Sengan, Nkeseng”. , dll. Dalam sinetron “Si Doyal Anak Sekolahan” banyak sekali cheng-chengan di setiap episodenya.
Inilah aspek yang sangat berwarna dari kebudayaan masyarakat Petavi, seng-senggan ketawa, humor yang merasuk jauh ke dalam kehidupan sosial manusia dan menjadi oase yang meredakan ketegangan syaraf kita dalam berbagai aktivitas keseharian karena kenyaringan batin. suara, humor yang menyuburkan spiritualitas kita.
Artikel ini terdiri dari tiga bagian, 1, 2, dan 3 (kesimpulan), yang membahas tentang bentuk tindakan, fungsi cheng-chengen, dan intensitas penggunaan kata.