JAKARTA – Hari Suci Pancasila kembali mengingatkan kita semua akan persatuan melawan intoleransi dan ekstremisme. Alisa Wahid, Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia (GNI) sekaligus Ketua Tanfidziyah PBNU, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan pribadi sebagai landasan mencegah ekstremisme.
Alisa Wahid menekankan pentingnya menggunakan kerangka konstitusi untuk merespons isu-isu sensitif terkait keberagaman. Menurutnya, Konstitusi merupakan langkah yang lebih spesifik dan universal dalam menyikapi keberagaman.
“Dalam menyikapi suatu kejadian, harus ada langkah konkrit yang disepakati semua pihak yang terlibat. Ruang dialog yang ada harus dioptimalkan untuk mengedepankan toleransi dan mencegah intoleransi. Semangatnya harus sama, yaitu peduli nasionalisme, bukan meminta maaf. karena nasionalisme atau perbuatan di luar hukum yang berlaku,” kata Alisa Jakarta, Rabu (2/10/2024).
Ia mengatakan masyarakat Indonesia seringkali disuguhkan dengan pemahaman agama yang antusias, namun kehilangan hakikat sebagai orang yang beriman kepada Tuhan. Beberapa pendeta dengan mudah menyebarkan cerita intoleransi dan menyerukan kekerasan untuk membangun loyalitas atau semangat di kalangan jemaahnya tanpa memikirkan dampaknya terhadap masyarakat dan negara.
Menurut Alyssa, pemuka agama seperti ini kerap mendorong mereka untuk terlalu mementingkan semangat beragama. Menurut Alyssa, jika masyarakat Indonesia melihat tokoh agama yang menghimbau untuk mendahulukan keyakinan agamanya, namun akibat memperlakukan WNI yang bukan anggota kelompoknya sebagai musuh, sebaiknya jangan ditiru.
Putri presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid alias Gud Dur ini mengingatkan, ada kalanya hukum negara harus ditegakkan, meski berbeda dengan ajaran agama tertentu. “Ada hal-hal yang boleh dalam agama saya, tapi tidak boleh di Indonesia. Jadi, sebagai umat beragama, kita harus pintar-pintar membela diri. Jangan sampai kepura-puraan menjaga keimanan justru malah menghancurkan kita. Hak umat beragama di luar kelompok kami,” kata Alisa.
Menurutnya, kunci menghindari fanatisme agama yang ekstrem adalah dengan menjaga keseimbangan tiga kepribadian dalam diri setiap warga negara. Yang terpenting kita adalah pemeluk suatu agama. Kedua, kita mempunyai jati diri sebagai warga negara Indonesia. Ketiga, kita adalah bagian dari kemanusiaan, ujarnya.
Ia menegaskan kembali peran sentral Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang mampu merangkul keberagaman sekaligus mengekang ekstremisme. Dengan menjaga keseimbangan antara identitas agama, kewarganegaraan, dan kemanusiaan, diharapkan masyarakat Indonesia terus memupuk toleransi dan menghindari fanatisme agama ekstrem yang dapat mengancam persatuan bangsa.
Alisa kembali menegaskan, meski sebagian besar pelaku kekerasan agama di Indonesia berlatar belakang agama Islam, namun aksi terorisme tersebut tidak ada kaitannya dengan agama tertentu.
Menurut dia, kekerasan berbasis agama, jika dilihat secara lebih holistik, membawa kita pada kesimpulan bahwa agama mayoritas di suatu daerah atau negara lebih banyak mengandung kekerasan karena agamanya.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara seperti Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, atau India yang mayoritas penduduknya. Di Myanmar dan India, banyak sekali insiden kekerasan yang dilakukan oleh sebagian besar kelompok agama.
Alisa berharap semua pihak, khususnya para pemuka agama di Indonesia, baik minoritas maupun mayoritas, tertarik untuk memahami moderasi beragama di lingkungannya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah semua kelompok agama bereaksi terhadap perbedaan agama, sehingga masyarakat Indonesia secara keseluruhan lebih tahan terhadap upaya polarisasi yang menguntungkan kelompok tertentu.
“Mengutip pesan Mahatma Gandhi, ‘Mata ganti mata membuat dunia buta,’” kata Alyssa.