JAKARTA – Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengemukakan pendapat berbeda atau bertentangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan sidang menghilangkan ambang batas pencalonan presiden dan presiden kedua (presidential treshold). Keduanya adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmik P Foek.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan Nomor 62/PUU-XXI/2023 tentang Syarat Batasan Calon Presiden atau Panel Presiden. Putusan tersebut diambil di Sidang Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Kamis (1/2/2025) dan diumumkan oleh Ketua MK Suhartoyo.
Baca Juga: Berita Terkini! MK mengambil kursi presiden
Undang-undang yang diujikan oleh para calon adalah pasal 222 Undang-Undang Pemilihan Umum 7 Tahun 2017. Pasal ini menyebutkan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi syarat memperoleh 20% dari perolehan suara. kursi di DPR atau memperoleh 25% suara sah di tingkat nasional. Pemilu Anggota DPR Sebelumnya.
Namun sejak putusan dikuatkan, Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 222 bertentangan dengan Undang-Undang Tahun 1945.
“Dimuatnya ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat,” lanjutnya.
Baca juga: Hormati Keputusan Mahkamah Konstitusi Hapus Presidential Threshold, Yusril: Akhir dan Batasnya
“Saya memerintahkan agar putusan ini diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” lanjut Ketua Mahkamah Agung.
Profil Akademik Dua Hakim Mahkamah Konstitusi yang Beda Pendapat Soal Putusan Ambang Batas 20% Capres
Dalam putusan Presidential Threshold terdapat perbedaan pendapat atau pendapat dari dua hakim konstitusi. Dua hakim yang berbeda pendapat adalah Anvar Usman dan Daniel Jusmic P Foek.
Anwar dan Daniel menilai para pelamar yakni empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tidak memiliki dasar hukum dalam permohonan yang mereka ajukan.
Anwar dan Daniel juga mengatakan, keempat calon harus membuktikan kerugian hukum yang mereka hadapi dengan mengajukan uji materil prosedur Presidential Threshold.
1.Anwar Usman
Pria besar di Desa Rasabu, Kecamatan Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat ini, merupakan lulusan SDN 03 Sila, Bima pada tahun 1969. Anwar sebelumnya bekerja sebagai guru honorer.
Hakim kelahiran 31 Desember 1956 ini merupakan lulusan PGAN tahun 1975. Ia pindah ke Jakarta dan menjadi guru honorer di SD Kalibaru. Nyambi menjadi guru, situs MK menyebutkan, Anwar kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan lulus pada 1984.
Setelah berhasil memperoleh gelarnya, ia berusaha lulus ujian menjadi hakim, lulus ujian pertama dan diangkat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Bogor pada tahun 1985.
Pada tahun 2001, beliau menempuh pendidikan magister pada program Magister Hukum di STIH Iblam Jakarta. Anwar bertugas di Pengadilan Negeri Atambua dan Pengadilan Negeri Lumayang. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2018 hingga 2020 ini memperoleh gelar sarjana dari Universitas Gadja Mada (UGM).
2. Daniel Jusmic Pankastaki Foek
Berdasarkan laman MK, Daniel merupakan putra pertama Nusa Tenggara Timur yang menjadi hakim sejak berdirinya MK.
Lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 15 Desember 1964, Daniel merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Ia dilahirkan di keluarga Ehau Foeck dan Johanna Foeck-Moses. Saat Raniera menamatkan sekolah dasar GMIT 2 (SD) di Kabupaten Kefamenanu, ia mendapat nilai rata-rata.
Sesuai cita-cita ayahnya yang menuntut semua anak mendapat nilai bagus, Daniel berhasil mengulang kelas VI di SD Inpres Oetete II Kupang. Hal ini membuatnya mengulang kelas enam sekolah dasar bersama adiknya. Karena itu, Daniel memiliki dua nilai untuk sekolah dasar.
Setelah lulus SMA Negeri 1 Kupang, ia mendaftar masuk Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (Sipenmaru) tahun 1985, dan pilihan pertama di Universitas Hukum Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang dan pilihan kedua juga di Sekolah Tinggi Ilmu Udayana Bali. Hukum.
Daniel menjadi mahasiswa di Universitas Nusa Cendana (Undana). Sebelumnya, dia ingin mempraktekkan hukum perdata. Menurutnya, pengacara hukum perdata dinilai lebih mudah mendapatkan pekerjaan dibandingkan profesi lain. Namun, ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disahkan, ia dan dua rekannya (Mohamed Said dan Renhard Ujululu) memilih berpraktik hukum.
Pada tahun 1995, Daniel yang terkenal cerdas dan terorganisir, mengikuti proses seleksi sarjana hukum di Universitas Indonesia (UI) dan lulus. Ia memilih dan fokus pada Hukum Negara (HTN).
Sebelum diangkat menjadi Hakim, Daniel merupakan Dosen Kehormatan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia dan Dosen Tetap Fakultas Hukum Unica Atma Jaya dengan jabatan Asisten Profesi.
Selama menjadi dosen di Unica Atma Jaya, Daniel yang mendapat gelar Doktor HTN dari UI pada tahun 2005 ini dipercaya sebagai Wakil Dekan Fakultas Hukum.
Hal inilah yang diutarakan kedua hakim konstitusi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas 20 persen kursi presiden.