JAKARTA – Sebagai bagian penting dari sektor sumber daya alam Indonesia, bisnis kelapa sawit berperan penting dalam mendorong perekonomian berbagai daerah, terutama di daerah pedesaan terpencil. Pengembangan perkebunan kelapa sawit tidak hanya mengoptimalkan potensi lahan, namun juga memberikan dampak sosial ekonomi yang nyata, sehingga secara bertahap meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Kehadiran perkebunan kelapa sawit di wilayah kecil dan marginal berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Seiring dengan berkembangnya kelapa sawit, masyarakat sekitar juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kegiatan ekonomi seperti perdagangan lokal, jasa dan kebutuhan bahan baku perkebunan menjadi lebih aktif.
Ketika bibit kelapa sawit unggul mulai berbuah pasir setelah berumur 2,5 tahun tanam, maka kegiatan pemanenan pun dimulai. Setiap bulannya, hasil panen buah sawit akan memberikan kontribusi langsung terhadap perekonomian masyarakat setempat. Merujuk pada pendapat pakar ekonomi Lincoln Arsjad, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan maju seiring dengan perubahan struktur perekonomian di dalamnya. Perkembangan perekonomian perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan peningkatan produk domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja di wilayah tersebut, sehingga berdampak besar terhadap kesejahteraan daerah.
Selain itu, operasi kelapa sawit juga meningkatkan permintaan barang-barang tambahan seperti pupuk dan alat-alat pertanian lainnya, sehingga memperluas peluang bisnis bagi masyarakat lokal. Sinergi antara perkebunan kelapa sawit dan masyarakat sekitar menjadi kunci pertumbuhan berkelanjutan. Keberhasilan pengembangan perkebunan kelapa sawit membantu mengembangkan wilayah pedesaan, memberikan manfaat sosial ekonomi yang berkelanjutan. Dengan fokus pada pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ini tidak hanya mendukung kesejahteraan perusahaan, namun juga menciptakan landasan perekonomian yang kokoh bagi masyarakat sekitar.
Sebagai bagian dari visi pembangunan inklusif, pengelolaan perkebunan kelapa sawit akan terus dilaksanakan dengan mengedepankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan usaha kelapa sawit yang bersinergi dengan masyarakat merupakan komitmen untuk mendukung perekonomian pedesaan yang lebih baik dan sejahtera.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Dedi Junaedi mengungkapkan pentingnya kerja sama berbagai pihak untuk memajukan sektor sawit dan mendukung kesejahteraan petani, khususnya di kawasan transmigrasi, dengan menekankan peran sawit. minyak sebagai kekuatan pendorong penting bagi perekonomian regional.
Dedi menjelaskan, sektor kelapa sawit telah menjadi salah satu sumber pendapatan dan lapangan kerja utama di banyak daerah, serta penghasil devisa terbesar kedua setelah batu bara. Namun, terlepas dari potensi ekonominya, industri kelapa sawit menghadapi tantangan dalam hal produktivitas, legalitas, dan keamanan energi. Pemerintah saat ini berupaya memperkuat sektor ini dengan menerapkan program biodiesel B50 dan mendukung peremajaan kelapa sawit oleh petani kecil.
Menurut Dedi, salah satu kendala terbesar bagi pekebun sawit mandiri adalah kurangnya akses terhadap benih unggul dan fasilitas budidaya berkelanjutan. “Kualitas benih sangat mempengaruhi hasil panen dan sayangnya banyak petani yang menggunakan aspal atau benih yang kualitasnya lebih rendah,” ujarnya saat peluncuran FGD Sawit Berkelanjutan VOL 16 bertajuk “Perkebunan Sawit Berkelanjutan Kembangkan Ekonomi Masyarakat Pedesaan”, di Jakarta, Jumat (1/11/2024).
Marcelinus Andri dari Departemen Advokasi Persatuan Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan tingginya investasi awal di perkebunan kelapa sawit dapat menjadi beban bagi petani kelapa sawit untuk berpartisipasi dalam koperasi atau lembaga yang mereka dirikan. Pelatihan ini juga mencakup peningkatan kapasitas, pendampingan hukum dan pengenalan praktik keberlanjutan yang relevan dengan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan.
Marcelinus mengatakan sertifikasi sebagai RSPO merupakan tujuan jangka panjang koperasi yang telah terbentuk. Sejauh ini SPKS telah membantu lima koperasi untuk mendapatkan sertifikat dan beberapa koperasi lainnya sedang dalam proses.
“Kami menargetkan beberapa koperasi di wilayah Sulawesi bisa tersertifikasi pada tahun ini,” ujarnya.
SPKS juga menerapkan pendekatan berbasis konservasi dengan metode High Carbon Stock (HCS) dan
Nilai konservasi tinggi (HCV). Pendekatan ini diterapkan secara partisipatif bersama petani dan masyarakat adat di wilayah Kalimantan, sehingga selain mendukung sertifikasi berkelanjutan, program ini juga menjaga kelestarian hutan dan memperkuat posisi tawar petani di pasar global.
Dalam upaya mengintegrasikan petani ke dalam rantai pasok, SPKS bekerjasama dengan
Perusahaan kelapa sawit di beberapa daerah. Hal ini diharapkan dapat memudahkan akses bagi petani
Pasar secara langsung. Marcelinus berharap pemerintah, dunia usaha, dan organisasi masyarakat sipil dapat mendukung petani kelapa sawit dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, seperti akses hukum dan peningkatan kapasitas, untuk mendukung keberlanjutan sektor kelapa sawit di Indonesia.
“Dukungan pemerintah dan dunia usaha sangat krusial dalam mengembangkan potensi petani kelapa sawit
Skala kecil, terutama untuk mencapai tujuan keberlanjutan dalam mendukung industri kelapa sawit
“untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),” pungkas Marcellinus.
Memperkuat sumber daya manusia di bidang kelapa sawit
Direktur Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi (CWE) Nugroho Christono mengatakan
Pentingnya peran perguruan tinggi dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang kelapa
Telapak. Sebagai satu-satunya politeknik yang fokus pada industri kelapa sawit, CWE kini menjadi pusat pelatihan sumber daya manusia kelapa sawit yang terpercaya berkat peran aktif dari pendirinya yang berdedikasi.
“Politeknik CWE didirikan atas dukungan kuat para pendirinya yang menginginkan pendidikan berkualitas bagi putra-putri petani nusantara,” kata Nugroho. Saat ini Politeknik CWE memiliki 970 mahasiswa dan 98% diantaranya berasal dari keluarga petani kelapa sawit dari Sabang hingga Merauke.
Nugroho juga menyinggung peningkatan jumlah kampus dan lembaga pendidikan kelapa sawit di Indonesia sejak tahun 2016. Ia mengapresiasi dukungan pemerintah dalam membangun sumber daya manusia kelapa sawit melalui berbagai program kolaborasi, termasuk program yang melibatkan 23 kampus yang menyelenggarakan program pendidikan kelapa sawit. Hal ini diharapkan dapat memperkuat keterampilan dan keahlian generasi muda sehingga siap bersaing di industri kelapa sawit.
Meski demikian, Nugroho mengakui masih terdapat tantangan, terutama dalam menarik lulusan politeknik untuk kembali ke daerah asalnya guna mengembangkan sektor kelapa sawit lokal. Banyak lulusan yang terserap oleh perusahaan besar, namun dukungan terhadap alumni untuk mengembangkan usaha kelapa sawit bersama keluarga atau koperasi di daerah asalnya masih minim. “Idealnya lulusan bisa kembali mengembangkan perkebunan sawit keluarga atau membentuk koperasi sehingga produktivitas sawit rakyat meningkat,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya membantu petani kelapa sawit untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi perkebunannya. Saat ini terdapat sekitar 11 lembaga pendidikan pendamping petani yang berada di bawah Program Direktorat Jenderal Perkebunan. Namun jumlah tersebut dinilai masih belum mencukupi mengingat kebutuhan yang terus meningkat. Nugroho berharap semakin banyak lembaga pendidikan yang berpartisipasi sehingga seluruh petani sawit di Indonesia mendapatkan pelatihan agronomi yang tepat.
“Dukungan yang lebih terstruktur dari pemerintah sangat diperlukan agar pendidikan dan pelatihan bagi petani kelapa sawit dapat optimal. industri kelapa sawit Indonesia,” jelasnya.