JAKARTA – Indonesia saat ini dan ke depan mempunyai tantangan besar dalam hal kemandirian pangan dan energi. Perkebunan kelapa sawit dapat menjawab tantangan tersebut tanpa harus membuka lahan baru.
Perkebunan kelapa sawit menyumbangkan dua hal yaitu komoditas berupa kelapa sawit. “Dan yang kedua berupa sumber daya lahan yang dapat ditanami tanaman non-sawit lainnya baik untuk pangan maupun energi terbarukan,” kata Presiden Rumah Kelapa Sawit Indonesia (RSI) Kachuk Sumarto saat berbicara kepada media di Jakarta. , Selasa (10/8/2024).
Setiap tahunnya, kata Kachuk, terdapat potensi sekitar 1 juta hektar lahan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan (non sawit) atau tanaman yang dapat menghasilkan pangan atau energi terbarukan. Potensi lahan perkebunan sawit seluas 1 juta hektar berasal dari siklus peremajaan kelapa sawit.
Perhitungannya, total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), adalah 16,2 juta hektar. Sedangkan siklus peremajaan kelapa sawit adalah 25 tahun. Sedangkan program peremajaan tahunan mencakup sekitar 648.000 ha.
Potensi lahan yang tersedia untuk tumpangsari jika dibajak setiap tahunnya adalah 240% dari 648.000 ha atau sekitar 1,5 juta ha. Sedangkan kalau tidak dibajak ada 140% atau sekitar 1 juta ha.
Angka tersebut didapat dari lahan seluas 648.000 ha. Tahun pertama potensi bisa ditanami tanaman sela sebesar 70%, tahun kedua turun menjadi 50%, dan tahun ketiga turun lagi menjadi 20%. . “Jadi 70% ditambah 50% ditambah 20% lagi menjadi 140%.” Ini perhitungannya jika menanam langsung. “Tapi kalau dibajak atau dibiarkan dulu, bisa 100% ditambah 140%, jadi ada potensi 240% dikalikan 648.000, jadi luasnya sekitar 1,5 juta hektar,” lanjutnya.
Potensi produksi tahunan dari lahan ini jika ditanami sorgum mencapai 8 juta ton (tidak dipanen), sedangkan jika lahan tersebut direbus bisa mencapai 12 juta ton. Jika lahannya ditanami singkong, potensi produksinya sekitar 45 juta ton per tahun (bukan lahan bera), namun jika lahan kosong bisa mencapai 70 juta ton.
Varietas Grobogan jika ditanam, jika tidak ditanam mencapai 2,9 juta ton, sedangkan jika dikembangkan berpotensi menghasilkan hasil 4,5 juta ton per tahun. Kalau menanam jagung dapat 8 juta ton (kalau tidak diberakan), sedangkan kalau tidak ditanam bisa mencapai 12,4 juta ton per tahun.
“Saya melakukan praktik tumpangsari tanaman sorgum, jagung, singkong, dan kedelai di perkebunan kelapa sawit milik PT Paya Pinang Group di Sumatera Utara. Dan itu hanya berlaku pada praktik penanaman tanaman biasa atau sederhana. “Jika menerapkan pola tumpang sari yang baik, pasti hasilnya akan lebih tinggi,” ujarnya.
Menurut Kachuk, permasalahan utama dari konsep optimalisasi perkebunan kelapa sawit saat replanting adalah pertanyaan pembeli, atau siapa yang akan membeli hasil panen dari tanaman sela tersebut. Oleh karena itu, diperlukan peran pemerintah di sini untuk menugaskan Perum Bulog untuk menyerap hasil panen tanaman sela tersebut.
Namun jika tidak ada pihak yang mau ditolak, Kachuk menyarankan agar hasil panen hanya dikonsumsi oleh masyarakat sekitar kebun. “Misalnya padi gunung yang ditanam di Serdang Bedagai, hasilnya hanya boleh dikonsumsi masyarakat setempat, tidak boleh dikirim ke Papua. Atau beras dari Papua tidak boleh dikirim ke Banda Aceh. karena biaya logistiknya mahal,” lanjutnya.
Dengan konsep ini, masyarakat sekitar kebun akan terjamin ketahanan pangan dan kemandiriannya. Selain itu mereka juga akan mendapatkan harga yang terjangkau karena biaya logistiknya murah. Masyarakat sekitar juga punya aktivitas ekonomi,” ujarnya.
Di sinilah konsep ini mempunyai multiplier effect yang tinggi. Sehingga multiplier effect di pedesaan ini akan menciptakan ketahanan perekonomian. Itu sebabnya dulu ada konsep ekonomi gotong royong yang bersifat bottom up. “Dengan mengoptimalkan sumber daya perkebunan kelapa sawit untuk mencapai kemandirian pangan, tidak perlu lagi membuka lahan baru,” ujarnya.