Andi Purwono
Dosen Hubungan Internasional FISIP dan Wakil Rektor 1 Unwahas Semarang
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan berusia 79 tahun pada tanggal 24 Oktober 2024. Kalimat pertama Piagam PBB menetapkan tujuan utama untuk menyelamatkan generasi mendatang dari kerusakan akibat perang, memajukan hak asasi manusia, dan menciptakan situasi yang memungkinkan terjadinya konflik keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban yang timbul dari hukum internasional. Namun peran penting organisasi internasional ini dalam menjaga perdamaian dunia masih terabaikan.
Misalnya, 43.000 warga Palestina di Jalur Gaza dan 280 pekerja bantuan kemanusiaan kini menjadi korban pembantaian Israel selama setahun. Sekolah, rumah sakit, tempat pengungsian, dan tempat ibadah yang seharusnya dilindungi juga ikut diserang. Kesedihan yang sama juga dirasakan warga Lebanon, meski Israel dua kali menyerang pangkalan pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon/UNIFIL.
Organisasi internasional seperti PBB didirikan berdasarkan prinsip keamanan (Kegley dan Blanton: 2011). Konsep ini berupaya mencapai perdamaian abadi di dunia dengan bekerja sama membantu menciptakan keamanan bagi semua (all for one, one for all). Ancaman keamanan dari satu penyerang dianggap sebagai ancaman bagi semua orang.
Ide-ide terbaik demokrasi politik internasional percaya bahwa perdamaian internasional dapat dicapai melalui organisasi dan kebijakan internasional. Keduanya diharapkan mampu mengurangi kejadian terorisme internasional karena tidak ada pemerintahan dunia. Oleh karena itu, negara harus menyerahkan sebagian kendalinya kepada organisasi internasional demi kepentingan perdamaian dan ketertiban dunia (determinasi).
Masalahnya, menurut kaum realis, pandangan ini bersifat utopis. Realitas akibat nyata dari politik internasional adalah perebutan kekuasaan. Setiap negara berusaha untuk memperoleh kekuasaan/kekuasaan, menguasainya dan menyebarkannya untuk kepentingannya.
Fakta ini juga terjadi di PBB. Alih-alih menjadi aktor independen yang mampu memenuhi misinya, PBB justru menjadi alat bagi banyak kepentingan nasional. Oleh karena itu, peran utamanya dibatasi oleh perang antar anggotanya.
Fakta ini dapat dilihat pada jalannya Liga Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia I dan Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II. Era Perang Dingin pada tahun 1945 hingga 1991 dan seterusnya penuh dengan cerita konflik. Bahkan konflik yang lebih tua dari masa PBB belum terselesaikan, yaitu antara Arab Palestina dan Yahudi Israel.
Beberapa pihak, meskipun mempunyai tanggung jawab dalam banyak masalah sosial lainnya, mengkritik kegagalan PBB dalam menangani masalah keamanan. Masalah utamanya adalah kurangnya independensi PBB. Menurut Pasal 24 Piagam PBB, masalah perdamaian dan keamanan merupakan tanggung jawab Dewan Keamanan PBB (DC).
Namun Dewan Keamanan PBB dikendalikan oleh lima negara yang memiliki hak veto, seperti Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis. Pada tahun 1945, kelimanya dianggap mampu membuat dunia damai dan stabil ketika mereka berjaya dari Perang Dunia II. Namun kini dunia telah berubah dan tantangannya menjadi semakin sulit.
Jumlah anggota PBB pun meningkat pesat dari 51 menjadi sekarang 193. DK dinilai tidak mewakili tatanan dunia saat ini. Meskipun dampaknya besar terhadap politik dunia, negara-negara berkembang dan negara-negara ekonomi besar seperti India, Brazil atau negara-negara Afrika tidak memiliki perwakilan tetap.
Inilah sebabnya mengapa seruan untuk reformasi PBB muncul. Sejak tahun 1945, Dewan Keamanan PBB direformasi pada tahun 1965 dengan menambah 4 sampai 10 anggota tidak tetap. Namun, ini tidak cukup.
Tindakan mendesak: Kontrol pemegang veto masih terlihat jelas, sehingga menyulitkan PBB untuk bertindak cepat menyelesaikan masalah ini. Hak veto berarti mereka dapat memblokir resolusi apa pun, meskipun resolusi tersebut didukung oleh mayoritas negara lain. Oleh karena itu, Dewan Keamanan PBB sering mengalami stagnasi dalam mengambil keputusan-keputusan penting.
Misalnya, Amerika sudah tiga kali memveto rancangan resolusi konflik Gaza. Hingga Desember 2023, AS telah memveto resolusi yang mengkritik Israel sebanyak 45 kali. Ia juga telah memveto 89 resolusi Dewan Keamanan PBB sejak tahun 1945.
Veto tersebut juga dituding membuat PBB terlalu lamban dalam merespons konflik karena perbedaan pendapat. Konflik di Suriah, Yaman, Palestina, dan invasi Rusia ke Ukraina menunjukkan bahwa kepentingan negara-negara anggota terus menjadi hambatan dalam kecepatan dan tekad. Akibatnya konflik berlarut-larut lebih lama.
Selain itu, transparansi proses pengambilan keputusan di Dewan Keamanan PBB juga penting. Diskusi antar negara besar di belakang layar mengabaikan kepentingan negara lain. Ini juga tidak termasuk mereka yang terkena dampak keputusan tersebut.
Oleh karena itu, metode yang lebih dimodifikasi diperkenalkan. Lima poin utama tersebut meliputi kategori keanggotaan, hak veto lima anggota tetap, keterwakilan regional, perluasan Dewan dan metode kerjanya, serta hubungan Komite Pemantau Keamanan dengan Majelis Umum. Hasil reformasi diharapkan dapat membuat peran PBB dalam pemeliharaan perdamaian menjadi lebih efektif.
Namun mekanisme penyesuaiannya tidak mudah. Pertama, diperlukan persetujuan dari setidaknya dua pertiga negara anggota PBB melalui pemungutan suara di Majelis Umum. Kedua, harus disetujui oleh dua pertiga negara anggota, dan ketiga, harus disetujui oleh seluruh anggota tetap DK yang memiliki hak veto.
Masalahnya, negara-negara yang punya hak veto rela melepaskan haknya. Jika menilik sejarah sejarah, maka dibutuhkan usaha untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Berikut adalah ringkasan singkat upaya semua pihak di dunia untuk mendukung hal ini.
Dalam pidatonya pada Forum on the Future (SOFT) di markas besar PBB di New York (23/09/24), Menteri Luar Negeri RI 2014-2024 Retno Marsudi kembali menyerukan reformasi Dewan Keamanan (DK) PBB. Retno mengatakan tata kelola internasional yang lebih fleksibel, efisien dan efektif harus dicapai melalui reformasi Dewan Keamanan PBB. Ia juga mengatakan, perdamaian hanya bisa tercapai jika hukum internasional selalu ditegakkan dan tidak ada standar ganda.
Dalam konteks seperti ini, komunitas internasional harus bekerja sama untuk mencapai perdamaian melalui langkah-langkah berikut. Pertama, masih adanya tuntutan reformasi Dewan Keamanan PBB. Semua pihak, mulai dari pemimpin dunia, pakar, LSM internasional (INGO) hingga komunitas internasional, harus berpartisipasi dalam mendukung reformasi PBB untuk menjamin stabilitas bersama. Strategi negosiasi juga penting karena warga negara yang memveto secara khusus meminta pemerintahnya untuk bergabung dalam gelombang besar reformasi PBB.
Kedua: memastikan dan memperkuat operasi pemeliharaan perdamaian di wilayah konflik. Hal ini diperlukan agar mereka dapat menjaga keselamatan mereka sendiri sekaligus memisahkan pihak-pihak yang berkonflik dan menjamin stabilitas. Jangan sampai berita seperti serangan Israel terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon / UNIFIL (10 dan 16 Oktober 2024) terulang kembali.
Ketiga, menghapus dan menghukum semua serangan teroris. Kebijakan embargo senjata dan sanksi finansial dapat digunakan untuk mencegah perilaku agresif negara-negara yang melanggar hukum internasional, meskipun misalnya negara tersebut belum berhasil membawa penjahat perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke pengadilan internasional. Langkah ini harus diselesaikan oleh semua orang demi manfaatnya.
Kedamaian tidak boleh hanya sekedar ilusi. Reformasi PBB adalah cara yang harus dilakukan oleh masyarakat dunia.