Rencana Prabowo Perluas Kebun Sawit Perlu Dikawal Bersama, 17 Juta Petani Beri Dukungan

Rencana Prabowo Perluas Kebun Sawit Perlu Dikawal Bersama, 17 Juta Petani Beri Dukungan

JAKARTA – Kebijakan Presiden Prabowo Subianto terhadap industri kelapa sawit patut dipertimbangkan secara matang dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan. Jika terjadi penambahan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit, maka diperlukan kebijakan reboisasi atau penghijauan. Pekerjaan ini penting karena Indonesia berkomitmen untuk berpartisipasi dalam pencegahan perubahan iklim.

Presiden Asian Society of Agricultural Economists (ASAE) Profesor Bustanul Orifin mengatakan para Menteri Kabinet Merah Putih harus bekerja keras untuk menerjemahkan arahan Presiden Prabowo terhadap industri kelapa sawit. Sebab, terlepas dari apakah kegiatan itu (penambahan lahan sawit) ada kaitannya dengan politik, kata Bostanul dalam keterangannya.

Ia mengatakan, sejauh ini belum ada penambahan lahan sawit dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (MNDP) seperti yang disampaikan Presiden Prabowo. Jadi, jika rencana Presiden Prabov terlaksana, maka perlu dilakukan kebijakan baru. “Kalau ada kebijakan baru harus kita kendalikan bersama,” kata Bustanul dalam keterangannya.

Terkait pertanyaan apakah kelapa sawit benar-benar berkontribusi terhadap laju deforestasi, Bostanul meminta masyarakat memikirkan baik-baik dampaknya. Jika terjadi perubahan pemanfaatan hutan untuk kelapa sawit, tentu akan terjadi perubahan kemampuan menyimpan dan menyimpan karbon.

Tanaman hutan tentunya memiliki kapasitas penyimpanan karbon dan karbon yang lebih tinggi dibandingkan tanaman kelapa sawit. Faktanya, hutan juga memiliki jejak karbon yang lebih kecil dibandingkan kelapa sawit.

“Dari situ ahlinya mendalami semaksimal mungkin. Kalau ada perubahan hutan menjadi sawit, harus ada penghijauan atau reboisasi yang harus ditambah. Jadi ada kompensasinya, kalau ada perubahan ya pengurangan,” kata Bustanul.

Ia tidak menyetujui deforestasi tanpa berusaha memberikan kompensasi dengan menanam kelapa sawit. Begitu pula dengan pembukaan lahan di lahan gambut.

“Pasti akan ada emisi karbon baru dari lahan gambut seiring dengan komitmen kita terhadap mitigasi perubahan iklim,” ujarnya.

Reboisasi adalah proses penanaman kembali pohon pada lahan yang sebelumnya telah dibuka atau terdegradasi. Sedangkan aforestasi adalah pembentukan hutan atau penanaman pohon pada kawasan yang sebelumnya tidak berhutan.

Hingga saat ini, Indonesia telah menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan pada industri kelapa sawit. Misalnya untuk standar global, Indonesia mengikuti RSPO (Runtable Sustainable Oil). Bahkan, di dalam negeri, Indonesia juga sedang menerapkan ISPO (Indonesia Sustainable Oil). Dan hal itu sangat diapresiasi oleh komunitas internasional.

Adapun kendala-kendala yang muncul dalam masuknya produk sawit Indonesia ke Eropa memang diakui sudah menjadi rahasia umum. Mereka khawatir produk minyak sawit Indonesia mengancam produknya, seperti minyak bunga matahari dan minyak canola.

Bustanul mengungkapkan, Uni Eropa akan menerapkan peraturan deforestasi mulai tahun ini, termasuk EUDR (European Union Deforestation Agenda) yang sempat tertunda selama setahun akibat protes dari Amerika Serikat.

Apakah Indonesia hanya diam saja? Bukan. Menurutnya, saat ini ada kelompok kerja yang sedang mempersiapkan berbagai karya secara detail, mulai dari definisi deforestasi, dll. Mereka membicarakan masalah ini dengan Malaysia, juga dengan Uni Eropa.

“Memang pangsa pasar minyak sawit kita di Eropa tidak begitu besar, 12 persen, bahkan 20 persen. Tapi Eropalah tren yang menentukan. Kalau Eropa melarang impor barang kita atau produksi biofuel, saya Saya takut yang lain akan mengikuti,” katanya.

Oleh karena itu, selain kompetisi, keterampilan positif kampanye kelapa sawit harus terus mendukung 17 juta keluarga kelapa sawit. politik Umum Ketua APKASINDO DPP Dr. Gulat ME Manurung mengungkapkan, 17 juta keluarga petani sawit mulai dari Aceh hingga Papua telah memberikan dukungan penuh.

Menurut Gulat, kelapa sawit merupakan anugerah Tuhan bagi Indonesia. Negara-negara lain sangat berminat untuk menanam kelapa sawit di negaranya dengan berbagai perubahan lingkungan, namun hasilnya jauh lebih kecil dari perhitungan keekonomian.

Oleh karena itu, penghargaan ini sudah sewajarnya menjadi daya tawar Indonesia dengan dunia. Padahal, sampai saat ini semua orang sangat leluasa melakukan ekstraksi minyak sawit tanpa adanya perlindungan regulasi yang kuat terhadap produk-produk minyak sawit strategis, sehingga kami para petani sawit bangga dan hal ini akan berdampak pada pidato Presiden”, jelas Gulat dalam keterangannya.

Gulat mengatakan, arahan presiden untuk membuka perkebunan kelapa sawit baru harus dimaknai secara luas untuk produksi kelapa sawit. Dimana produktivitas kelapa sawit dapat ditingkatkan melalui dua cara.

Pertama, peremajaan atau revitalisasi kelapa sawit skala kecil (PSR) yang dikenal dengan istilah intensifikasi atau hulu. Kebijakan pemuliaan ini mampu meningkatkan produktivitas kelapa sawit manusia sebanyak 3-4 kali lipat.

Kedua, strategi ekstensifikasi atau peningkatan luas permukaan kelapa sawit. Menurutnya, harapan tersebut terlalu luas mengingat luas hutan di Indonesia masih jauh melebihi standar minimum (hutan dan non hutan).

Namun kami mengusulkan perbaikan lebih lanjut pada lahan terdegradasi atau terbengkalai, bekas pertambangan atau kawasan hutan reklamasi sebagaimana rekomendasi hasil penelitian Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup IPB pada tahun 2023.

Terkait Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), Gulat mengatakan, ada lima poin yang harus segera diterapkan untuk mendukung arahan Presiden Prabowo. Pertama, Indonesia harus merevisi peraturan negatif mengenai minyak sawit. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan peraturan bahwa kelapa sawit yang ada sudah jelas ditanam dan tidak lagi menjadi masalah bagi Kementerian Kehutanan.

Kedua, badan pengelolaan kelapa sawit Indonesia harus dibentuk langsung di bawah presiden. Selain menangani kebijakan perdagangan selama ini, yang terpenting adalah mendukung pendapatan negara dari sawit agar bisa terus tumbuh. Ketiga, mendorong dan mendorong koperasi pertanian untuk masuk dalam jajaran usaha kecil menengah di industri hilir kelapa sawit.

Keempat, secara bertahap mengendalikan program wajib energi hijau. Kelima, mengadopsi peraturan bahwa perkebunan kelapa sawit dengan hasil kurang dari 1,2 ton FP/ha/bulan dan hasil kurang dari 22 persen harus memiliki PSR yang disetujui oleh Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS) dan dibiayai.

“Tentunya hal ini juga harus mendukung relaksasi (penyederhanaan) persyaratan PSR dengan segala pembatasannya bagi pekebun sawit. Begitu pula dengan perkebunan sawit korporasi yang hasilnya rendah tentunya harus diremajakan melalui pembiayaan internal korporasi,” tegasnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *