Rumah Batik dan Perjuangan Menaklukan Keterbatasan

Rumah Batik dan Perjuangan Menaklukan Keterbatasan

PEKALONGAN – Lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan dengan khidmat di depan sebuah rumah sederhana di Desa Rayane Khaorang, Kecamatan Wiradesa, Pekalongan, Jawa Tengah. Brand house “TBIG Batik House” lebih ramai dari biasanya.

Sebuah “perayaan besar-besaran” digelar pagi itu di halaman gedung seluas sekitar 1000 meter persegi. Ya, ini musim wisuda untuk merayakan kelulusan 32 mahasiswa yang sudah hampir setahun belajar fotografi di Rumah Batik TBIG.

PT Tower Bersama Infrastructure TBIG (TBIG), Rumah Batik TBIG telah berdiri sejak tahun 2014 dan telah meluluskan lima orang dan total siswa yang diwisuda sebanyak 104 orang sejak tahun 2021. Rumah Batik TBIG ditujukan untuk generasi muda yang sedang mengembangkan kehidupan dan masyarakat berkebutuhan khusus. Di wilayah Pekalongan dan sekitarnya, seperti yang menjadi peserta program. Mereka diajarkan filosofi dan teknik membatik untuk menciptakan produk yang mampu bersaing di pasar.

Tidak hanya pemuda berbadan sehat, Rumah Batik TBIG telah membantu perkembangan pemuda berkebutuhan khusus selama lebih dari sepuluh tahun. Seker Massayu Brilianti (17 tahun), Giffari Ata Ayman (15 tahun), dan Tabitha Barlianti (14 tahun) adalah nama 12 siswa berkebutuhan khusus yang turut diwisuda pagi itu.

“Menyenangkan sekali mengikuti pembelajaran sehingga kita bisa terus berkarya dan membangun kreativitas melalui latihan,” kata Sekar menggunakan bahasa isyarat yang diterjemahkan. Tuna wicara ini merupakan wisudawan terbaik kelas reguler B Rumah Batik TBIG Angkatan V.

Rumah Batik TBIG membagi kelas belajarnya menjadi tiga kategori: Kelas Akademik A untuk pelajar dewasa gratis, Kelas B untuk anggota berkebutuhan khusus, dan kursus singkat untuk pelajar SD hingga mahasiswa. Menurut Jocko Padmanto, salah satu guru Rumah Batik TBIG, pada Angkatan V kelas reguler A diikuti 27 peserta dan 20 orang diantaranya lulus. Kelas reguler B berjumlah 12 peserta dan semuanya lulus. Setiap kursus berlangsung selama 6 bulan dan mencakup desain batik, waxing, pewarnaan dan pengembangan produk.

Seorang siswa perlu melakukan banyak hal untuk lulus. Artinya, tingginya intensitas partisipasi dalam program dan penyelesaian proyek. Pertama, tidak menghadiri lebih dari 30 persen dari 40 pertemuan dalam satu semester. Kedua, peserta yang tidak dapat menyelesaikan proyek otomatis gagal.

Rumah Batik TBIG merupakan proyek PT Tower Bersama Infrastructure TBIK (TBIG) pada pilar budaya. Empat pilar CSR perusahaan adalah Membangun Sehat Bersama (Kesehatan), Membangun Bersama Cerdas (Pendidikan), Membangun Hijau Bersama (Lingkungan Hidup) dan Membangun Budaya Bersama (Culture). “Di sini peserta tidak hanya mempelajari proses pembuatan batik saja, namun juga seluk beluk usaha yang digeluti. Program Rumah Batik TBIG ingin mendorong mahasiswa untuk mengembangkan usaha,” kata CSR PT Tower Bersama Infrastructure Tbk Fahmi Sutan Altas .

Rumah Batik TBIG menerapkan sistem pendidikan yang beragam mulai dari pelatihan keterampilan membatik, tingkat komersial dan kreatif. Pada tahap inkubasi, mahasiswa Rumah Batik TBIG akan diberikan arahan produksi batik di daerah tertentu untuk memenuhi kebutuhan website di Jakarta, Semarang, Solo, Cirebon dan Surabaya. Pada fase inkubasi ini, mahasiswa belajar menjalankan usaha kecil-kecilan dengan tiga putaran produksi dan dukungan finansial tanpa bunga melalui Koperasi Bangun Bersama (KBB).

Dengan setiap siklus produksi yang sukses, volume produksi akan meningkat hingga pengrajin menjadi pembeli tetap untuk berbagi. Batik yang diterima sudah lolos quality control. Selain itu, koperasi juga berperan sebagai wali dengan memberikan kepastian pembayaran kepada perajin. Berbeda sekali jika dibandingkan jika disimpan di toko dan biasanya pembayarannya lama dan tidak ada kepastian.

Menurut Fahmi, pembangunan yang sedang berlangsung ini sangat tepat karena menunjukkan realitas tanggung jawab sosial. Pelatihan komprehensif bagi anggota untuk memberikan solusi yang efektif. Rumah Batik TBIG diibaratkan burung yang bisa bertelur, namun tak sekadar cantik dipandang. “Kami tidak hanya ingin memberikan solusi jangka panjang, tapi harus solusi konkrit dan jangka panjang,” ujarnya.

Lingkungan

Sepanjang perjalanannya, Rumah Batik TBIG terus memperkuat produk-produk ciptaan para veterannya untuk bersaing di industri batik dan memberikan solusi yang tepat. Nanang Tri Purwanto, pemilik Rumah Batik TBIG, mengatakan program yang ada terus berkembang, salah satunya adalah penggunaan warna batik dan program lain yang sedang berjalan.

Rumah Batik TBIG memiliki 16 jenis tanaman yang dapat menghasilkan warna alami saat memproduksi batik. Ini merupakan yang tertinggi di Indonesia. TBIG Batik House juga menggalakkan program perbaikan dengan kualitas lebih baik dan manfaat baru, mulai dari limbah botol plastik hingga produk baru. Kegiatan ini melibatkan penyandang disabilitas yang tertarik menggunakan batik pada produk lain seperti laptop dan tas.

Menurut Jocko Padamento, program pertama ini hanya membuang sampah botol plastik dalam rangka CSR Environment, pilar Build Green Together. Limbah botol plastik ini diolah dengan mesin menjadi serat dan dibuat produk seperti tas. Namun melihat potensi yang besar dan mendorong harga jual yang tinggi, maka dibuatlah program bersama pada pilar budaya dan budaya. “Produk ini tidak sesulit batik tulis dan mereka (siswa difabel) bisa benar-benar berkembang,” kata pria yang mengikuti program tersebut sejak tahun 2021.

Berbagai perkembangan tersebut mengantarkan M., salah satu mantan mahasiswa Rumah Batik TBIG. Abdu Rizal Bahari terkejut. Mahasiswa pelatihan tahun 2015 mengungkapkan berbagai inovasi terus dilakukan untuk menjaga program tetap berjalan, sangat sesuai dengan kebutuhan zaman.

Pengusaha batik ini bercerita, saat bergabung, ia banyak mendapat pelatihan tentang bisnis batik hingga mampu mengembangkan usaha sendiri dan menjual produk batiknya ke luar negeri. Selain itu, terdapat harapan yang besar terhadap program yang sedang dilaksanakan. “Setelah saya lulus, saya hanya bisa membuat dua batik. Saya harus menjualnya secara mandiri dari satu toko ke toko lainnya,” kata Rizal.

Sekar dan Rizal serta murid-murid Rumah Batik TBIG menjadi ajang kisah pembuktian perjuangan tiada akhir. Selain untuk melestarikan warisan budaya, keberadaan Rumah Batik TBIG merupakan bukti kerja keras, kegigihan, kreatifitas dan kegigihan para seniman batik di Pekalongan, kota yang menjadi penopang lebih dari 70 pasar batik di tanah air. Inilah rumah yang menceritakan banyak kisah tentang perjuangan mengatasi keterbatasan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *