JAKARTA – Modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Tiongkok menjadi kekuatan militer kelas dunia dalam waktu relatif singkat dinilai merupakan perkembangan yang patut menjadi perhatian Indonesia dan negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Terlebih lagi, Tiongkok akhir-akhir ini cenderung berkonfrontasi dengan Barat dalam upayanya meningkatkan kemampuan militernya dan berpotensi mengubah kawasan Laut Cina Selatan menjadi medan pertempuran jika terjadi konflik dengan negara-negara Barat. akan meletus di masa depan.
Di sisi lain, meningkatnya kekuatan militer Tiongkok juga cenderung meningkatkan ketegangan antara Tiongkok dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang sebagian wilayahnya diakui oleh Tiongkok, padahal pengakuan Tiongkok tersebut bertentangan dengan Hukum Laut Internasional (UNCLOS).
Direktur Riset Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Aisha Rasyidila Kusumasomantri, M.Sc. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa angkatan bersenjata Tiongkok kini telah menjadi salah satu kekuatan dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Menurut Aisha, China saat ini memiliki angkatan laut yang sangat kuat yang terdiri dari sekitar 370 kapal atau kapal selam dan 140 kapal perang permukaan. Militer Tiongkok juga didukung oleh teknologi operasional multi-domain dan sistem otonom yang dipersenjatai dengan kecerdasan buatan (AI) dan robotika.
Namun perkembangan militer Tiongkok di atas berpotensi menimbulkan tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, mengingat Tiongkok saat ini berupaya menerapkan pengakuan properti di berbagai wilayah LCS yang bertentangan dengan Hukum Laut Internasional (UNCLOS). .
Upaya untuk menegakkan klaim kepemilikan ini dipimpin oleh Tiongkok, antara lain dengan memperkuat armada penjaga pantainya, melakukan tindakan agresif oleh kapal penjaga pantai, dan menggunakan taktik wilayah abu-abu untuk mengganggu negara lain yang memiliki zona ekonomi eksklusif (ZEE). ) di LCS.
Aisha menegaskan, Indonesia sebenarnya tidak memiliki klaim kepemilikan dengan China atau negara lain di LCS. Namun, Indonesia tetap terlibat dan bisa terkena dampak jika ketegangan di Laut Cina Selatan meningkat. Menurut Aisha, Indonesia masih memiliki beberapa opsi untuk menyikapi perkembangan di atas.
Di satu sisi, Indonesia dapat meningkatkan permasalahan pertahanannya dengan Tiongkok, antara lain dengan menjajaki kemungkinan kerja sama pertahanan kedua negara. Namun, Indonesia perlu mengembangkan strategi pertahanannya yang juga memungkinkan pengembangan di luar Indonesia.
“Antara lain, Indonesia perlu meningkatkan sumber daya pertahanannya untuk merespons meningkatnya ketegangan di kawasan,” kata Aisha dalam diskusi publik bertajuk “Militarisasi dan Diplomasi Pertahanan Tiongkok: Peluang dan Tantangan di Asia Tenggara.” Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI), di Jakarta, Senin, 30 September 2024.
Selain Aisha dalam diskusi publik ini, hadir pula Satpam Daerah Brigjen TNI (Purn) Victor P. Tobing, dosen Program Studi Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Paramadina M. Si (Han), Dr. Peni Hanggraini, MA
Selain Aisha, Dosen Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Peni Hangarini, juga menyoroti pesatnya perkembangan militer Tiongkok belakangan ini.
“China sepertinya mengurangi jumlah pasukannya, namun militer China semakin kuat dari segi teknologi. “China menggunakan orang-orang terpelajar dan terlatih di bidang teknologi informasi untuk militernya,” kata pria yang menyandang gelar doktor di bidang kebijakan pertahanan dari Universitas Pertahanan Indonesia ini.
Menurut Peni, perilaku militer Tiongkok dinilai cukup ambisius, tegas, dan agresif, serta mendukung upaya mereka dalam mewujudkan impian Tiongkok.
Menurutnya, selain bertujuan untuk mewujudkan impian mewujudkan kebangkitan nasional Tiongkok dengan era RRT
Sikap 3A yang penuh tekad, percaya diri, dan agresif yang akan meningkat menjadi 100 pada tahun 2049 juga disebabkan oleh persaingan Tiongkok dengan Amerika Serikat (AS). Peni menjelaskan, negara-negara ASEAN menyikapi perkembangan di atas dengan cara yang berbeda-beda.
Misalnya, Indonesia masih melakukan diplomasi pertahanan dengan Tiongkok, meskipun kerja sama pertahanan masih relatif rendah. Terakhir, Peni menilai masih banyak ruang bagi Indonesia untuk meningkatkan diplomasi pertahanannya dengan Tiongkok, baik dalam hubungan bilateral maupun dalam konteks Tiongkok sebagai mitra ASEAN.
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Ph.D. Johanes Herlijanto melihat status dampak proyek modernisasi militer Tiongkok di atas sebagai persoalan yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami baik oleh masyarakat Indonesia maupun pemerintah.
“Apalagi pada Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok (PKT) ke-20 tahun 2022, Xi mengubah target modernisasi angkatan bersenjata dan pertahanan Tiongkok dari tahun 2035 menjadi 2027,” kata dosen Universitas Harapan (UPH) Pelita.
Dalam pemaparannya, Jenderal TNI Victor P. Tobing (Purn) menunjukkan bahwa modernisasi militer Tiongkok tidak terjadi secara tiba-tiba. Ide memulai modernisasi militer sudah ada sejak masa modernisasi Deng Xiaoping pada tahun 1978, ujarnya. Namun perbedaan besar muncul sejak Xi Jinping naik ke tampuk kekuasaan sebagai pemimpin partai, militer, dan negara pada tahun 2012.
“Jika Tiongkok pada awalnya tidak berniat membangun pangkalan militer di luar negeri, sejak diterbitkannya Buku Putih Kedua pada tahun 2013, Tiongkok telah menyatakan bahwa kekuatan militernya akan setara dengan kedudukan Tiongkok di dunia internasional,” ujarnya. Menurut Victor, hal tersebut melatarbelakangi dibangunnya pangkalan militer China di Djibouti, Afrika.
Artikel Victor juga menunjukkan bahwa Tiongkok telah menjadikan sebagian wilayah LCS sebagai rangkaian pulau pertama pertahanan Tiongkok, sedangkan wilayah Papua Barat bagian utara, Palau, dan Pasifik mulai dari Guam hingga Jepang menjadi rantai pertahanan pulau kedua. pertahanan negara.
Victor menduga China yang kini memiliki tiga kapal induk dan fasilitas militer di berbagai pulau di Laut China Selatan, tidak akan kesulitan menguasai kawasan yang merupakan rangkaian pulau pertama yang menjadi tempat pertahanannya.
Menurut pria yang pernah bekerja di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) ini, keberadaan kapal induk ketiga milik China, Fujian hanya ada. terungkap. Senjata yang diuji coba beberapa bulan lalu ini menimbulkan permasalahan bagi Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya dalam hal modernisasi militer China.
Tantangan lainnya, katanya, termasuk Kongres Nasional CPC ke-21 yang menegaskan bahwa Xi akan menjadi pemimpin Tiongkok pada periode mendatang.
Artinya, tidak akan ada perubahan kebijakan yang signifikan di Tiongkok, ujarnya. Victor juga menyebut belanja pertahanan RI pada tahun 2025 sebagai tantangan lain yang dihadapi Indonesia.