JAKARTA – Indonesia kebanjiran susu dari luar negeri. Selain Australia dan Selandia Baru, mereka mengimpor susu dari banyak negara, termasuk Malaysia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada periode Januari-Oktober 2024, volume impor susu mencapai 257,3 ribu ton. Jumlah tersebut lebih tinggi sebesar 7,07% dibandingkan periode yang sama tahun 2023.
“Sepertinya setiap bulan Oktober 2024 dibandingkan September 2024 terjadi peningkatan setiap bulan, setiap tahun,” kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Vidyasanti saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (15/1). 11/2020). . 2024).
Petani dan pengepul Baiu Aji menanggapi besarnya angka impor ini dan mengatakan bahwa cara terbaik untuk menerapkan tarif impor adalah dengan bukti peningkatan jumlah petani lokal.
“Jika industri pengolahan mengimpor 6 ton susu, maka harus menyerap terlebih dahulu 4 ton susu dari peternak dalam negeri, dengan menunjukkan bukti kenaikannya, ditetapkan “kelipatannya”. Oleh karena itu, jika industri mengimpor 120 ton maka harus menyerap 80 ton dari peternak lokal, hal ini akan meningkatkan peningkatan produksi susu dalam negeri,” jelas Baju.
Baju menegaskan, kebijakan semacam itu pernah dilakukan Indonesia pada periode 1985-1998 berdasarkan arahan presiden no. 2 tahun 1985 sebagai solusi yang meyakinkan untuk menghentikan peningkatan ternak setelah impor.
“Jadi Indonesia harus mandiri dalam produksi susu, tidak bergantung pada Malaysia yang mengimpor susu dari Indonesia pada tahun 2010. Sebagai negara besar, Indonesia harus mandiri dalam hal susu. Komunitas peternak kita di pedesaan mampu menghasilkan susu yang lebih banyak dan berkualitas dibandingkan SNI.
Berikut volume dan nilai impor susu ke Indonesia dari berbagai negara selama periode Januari-Oktober 2024:
1. Selandia Baru: 126,84 ribu ton ($385 juta)
2. Amerika Serikat: 45.181 ribu ton ($129 juta)
3. Australia: 38.191 ribu ton (107 juta dollar)
4. Belgia: 15.237 ribu ton (43 juta dollar)
5. Malaysia: 14.574 ribu ton (17 juta dollar)
6. Lainnya: 17.272 ribu ton (47 juta dollar)
Total: 257,3 ribu ton ($732 juta)