JAKARTA – Tahun 2025 diprediksi menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian global. Situasi ini kemungkinan akan semakin diperumit oleh konflik geopolitik, lambatnya pertumbuhan ekonomi global, dan ketidakpastian akibat dampak perubahan iklim.
Di dalam negeri, Indonesia juga menghadapi tekanan dari sejumlah kebijakan ekonomi yang akan diterapkan pada tahun 2024, yang akan berdampak signifikan terhadap daya beli kelas menengah, kata Achmad Noor Hidayat, ekonom veteran Jakarta dan pakar kebijakan publik di UPN.
“Dalam situasi ini, penting bagi kelas menengah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah strategis agar bisa bertahan dan tetap relevan di tengah ketidakpastian ini,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (28/12/2024).
Achmad mengatakan ketidakpastian perekonomian global merupakan permasalahan besar yang dirasakan tidak hanya oleh negara-negara besar tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia. Konflik geopolitik yang sedang berlangsung antar negara-negara besar, seperti perang dagang, memberikan tekanan yang semakin besar terhadap stabilitas perekonomian.
Fluktuasi harga komoditas global, khususnya energi dan pangan, menimbulkan ancaman serius bagi negara-negara yang bergantung pada impor seperti Indonesia.
Kemudian, perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara mitra dagang utama seperti Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) memperburuk kondisi dengan menurunkan potensi ekspor dan investasi. Selain itu, perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem dan bencana alam juga kerap mengganggu produksi pangan global yang pada akhirnya meningkatkan harga pangan.
Sementara itu, lebih lanjut dia mengatakan, di dalam negeri kebijakan-kebijakan sesat yang dilakukan pemerintah pada tahun 2024 juga akan berdampak langsung pada kelas menengah pada tahun berikutnya.
Menurut dia, salah satu kebijakan yang keluar adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Meskipun tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan penerimaan negara, namun dampaknya berupa kenaikan harga barang dan jasa di pasar.
Ia menekankan, “Hal ini tidak hanya berdampak pada masyarakat miskin tetapi juga kelas menengah yang merupakan tulang punggung konsumsi dalam negeri. Ketika harga kebutuhan pokok naik, daya beli mereka menurun sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan berisiko.”
Pengetatan subsidi energi juga akan menjadi beban tambahan bagi kelas menengah, lanjut Achmad. Pemerintah mengubah mekanisme bahan bakar minyak (BBM) dan subsidi listrik menjadi berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Meskipun kebijakan ini dirancang untuk memastikan subsidi lebih tepat sasaran, banyak masyarakat kelas menengah yang dulunya menikmati subsidi kini menghadapi kenaikan biaya energi,” katanya.
Menurut Achmad, situasi ini akan memaksa kelas menengah mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok sehingga mengurangi kapasitas investasi dan tabungan.
Namun kedua kebijakan tersebut bukanlah segalanya. Achmad juga mencatat, Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mulai dilaksanakan pada tahun 2024 juga menjadi sumber tekanan baru. Program ini mengharuskan karyawan dan pengusaha menyisihkan sebagian pendapatannya untuk dana perumahan.
Meski bertujuan untuk memperluas akses masyarakat terhadap perumahan yang layak, menurutnya program tersebut juga menambah beban keuangan bagi masyarakat kelas menengah, terutama yang sudah memiliki cicilan atau kewajiban keuangan lainnya.
“Pada tahun 2025, dampak kebijakan ini akan semakin nyata dengan penurunan daya beli yang signifikan,” ujarnya.
Menurut dia, ketidakpastian perekonomian global dan kebijakan dalam negeri yang ketat membuat masyarakat kelas menengah harus bijak dalam mengelola keuangannya. Untuk itu, Achmad menyarankan beberapa langkah yang perlu dilakukan masyarakat kelas menengah agar bisa lepas dari tekanan tersebut.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menata ulang prioritas belanja. Dalam situasi ini, tegasnya, fokus utama harus pada kebutuhan pokok, sedangkan belanja barang konsumsi non-esensial perlu dikurangi.
“Membuat anggaran bulanan yang ketat dapat membantu memastikan bahwa pengeluaran tidak melebihi pendapatan, sekaligus memberikan ruang untuk tabungan,” katanya.
Langkah lainnya, lanjutnya, adalah melakukan diversifikasi sumber pendapatan. Kelas menengah perlu mencari peluang bisnis tambahan atau berinvestasi pada aset dengan risiko rendah namun imbal hasil stabil.
Menurut dia, di tengah ketidakpastian perekonomian, berinvestasi pada reksa dana pendapatan tetap atau obligasi pemerintah bisa menjadi pilihan yang aman. Menurutnya, peluang di sektor ekonomi digital juga perlu dicoba untuk meningkatkan pendapatan, seperti menjadi freelancer atau berjualan produk secara online.
Langkah selanjutnya adalah meningkatkan literasi keuangan agar dapat bertahan di tengah tekanan ekonomi. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai pengelolaan keuangan, investasi dan perlindungan aset, konsumen kelas menengah dapat terhindar dari jebakan utang yang akan memperburuk keadaan keuangan mereka di masa depan. “Hindari penggunaan kartu kredit atau pinjaman untuk kebutuhan konsumtif dan utamakan tabungan untuk dana darurat,” ujarnya.
Achmad juga menyarankan agar masyarakat menggunakan kebijakan pemerintah dengan bijak. Misalnya dengan memastikan data pribadi Anda terdaftar dengan benar sehingga Anda bisa mengakses subsidi energi atau dukungan sosial yang tersedia. Kemudian, bagi pelaku usaha kecil sebaiknya memanfaatkan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah untuk menunjang kelangsungan usaha. “Kolaborasi dengan masyarakat atau koperasi juga dapat membantu membangun jaringan pendukung yang lebih kuat di tengah tantangan perekonomian,” ujarnya.
Sementara di sisi pemerintah, Achmad meminta pemerintah memperhatikan dampak kebijakan ekonominya terhadap masyarakat kelas menengah. Menurutnya, sangat penting untuk memberikan kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok ini demi menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.
Misalnya saja mempertimbangkan mekanisme subsidi energi yang lebih inklusif atau memberikan insentif pajak kepada masyarakat kelas menengah yang terdampak kenaikan PPN, ujarnya. Selain itu, upaya stabilisasi harga kebutuhan pokok untuk mengurangi beban masyarakat juga harus menjadi prioritas pemerintah.
Selain itu, kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta merupakan kunci untuk menghadapi tantangan ini. Sektor swasta dapat berkontribusi dengan memberikan program pelatihan keterampilan atau kesempatan kerja yang relevan dengan kebutuhan pasar. Sementara itu, masyarakat perlu terlibat aktif dalam mendukung kebijakan yang mendukung stabilitas perekonomian, seperti mendukung produk lokal untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Meski tantangan perekonomian diprediksi akan sulit pada tahun 2025, Achmad meyakini terdapat peluang bagi kelas menengah untuk bertahan bahkan tumbuh dengan strategi yang tepat. Menurutnya, keberhasilan menghadapi ketidakpastian ini tidak hanya bergantung pada kemampuan individu, namun juga upaya bersama untuk menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Ia menyimpulkan, “Dengan langkah yang tepat, kelas menengah Indonesia dapat tetap menjadi pilar penting dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan perekonomian nasional, bahkan di tengah badai ketidakpastian global.”