Targetkan Net Zero Emission, Indonesia Perkuat Sistem Informasi Geospasial

Targetkan Net Zero Emission, Indonesia Perkuat Sistem Informasi Geospasial

JAKARTA – Pemerintah Indonesia merencanakan sistem informasi geografis yang kuat, akurat, dan akuntabel untuk mendukung tujuan pembangunan termasuk emisi net-zero pada tahun 2060 atau lebih awal.

Plt Direktur Jenderal Perencanaan Kehutanan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Herban Heryandana mengatakan Indonesia sedang membangun sistem informasi geografis berdasarkan kerangka UN IGIF. Menurut Herban, sistem informasi geografis yang kuat sangat penting untuk menghadapi tantangan pembangunan.

“Contohnya ekonomi hijau dan biru seperti Asta Cita-nya Presiden Prabowo,” ujarnya dalam keynote address di paviliun Indonesia pada COP29 UNFCCC bertajuk “Advancing Geospatial Information to Improve Climate Action Strategies to Achieve Net Zero Emissions.” KTT Perubahan Iklim 2024 pada Kamis 14 Oktober 2024 di Baku, Azerbaijan.

Harban menambahkan bahwa sistem informasi geografis yang kuat sangat penting untuk mencapai tujuan pengurangan emisi karbon dari sektor Kehutanan dan Tata Guna Lahan (FOLU). Indonesia akan meluncurkan FOLU Net Sink pada tahun 2030.

“Kita perlu membangun sistem pemantauan dan pelaporan yang kuat untuk FOLU Net Sink dengan mengintegrasikan berbagai informasi geospasial seperti citra satelit resolusi tinggi, data tutupan hutan, serta data deforestasi dan degradasi lahan,” ujarnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membuat KLHK SIGAP (Sistem Informasi Geografis) yang merupakan sistem organisasi informasi geografis tematik sekaligus sumber data informasi kehutanan.

SIGAP mengelola 102 informasi geografis tematik yang diperoleh dari berbagai sumber dan dilengkapi dengan perangkat keamanan data dan privasi. Selain itu, SIGAP merupakan open source dengan akses terbuka untuk umum.

Sementara itu, Kepala Badan Informasi Geografis (BIG) Prof. Muh Aris Marfai yang turut menyampaikan keynote speaker pada diskusi tersebut mengatakan, pemerintah Indonesia berkomitmen menyediakan data informasi geografis untuk mendukung perencanaan dan pembangunan, termasuk aksi iklim.

“Untuk akurasinya, pemerintah sedang menyiapkan data dasar geografis dalam peta skala 1:5.000,” ujarnya.

Peta inilah yang kemudian menjadi peta dasar kebijakan satu peta. Penerapan prinsip ini sangat penting dalam pengambilan kebijakan lintas sektoral. Percepatan implementasi Kebijakan Satu Data Peta merupakan amanat Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2021. “Dengan satu peta, kebijakan dapat ditentukan secara tepat untuk banyak kebutuhan,” ujarnya.

Muh Aris Marfai menambahkan, kebijakan peta tunggal harus didukung dengan melibatkan peta tematik kementerian dan lembaga lainnya, termasuk program mitigasi perubahan iklim, kebencanaan, dan swasembada pangan.

Gabriel Labbate, Kepala Unit Mitigasi Iklim UNEP, menekankan bahwa data yang akurat adalah dasar bagi pengelolaan hutan, perdagangan karbon, dan konservasi yang efektif. “Data yang baik akan meningkatkan kredibilitas aksi iklim di sektor kehutanan.

Gabriel mengatakan harga karbon hutan saat ini rendah. Salah satu alasannya adalah rendahnya keandalan data kehutanan sehingga mengurangi keandalannya. “Tentu saja, hutan adalah sumber daya yang paling rentan dan membutuhkan dukungan finansial untuk aksi iklim,” ujarnya.

Gabriel mengingatkan pentingnya pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan keandalan data sains, termasuk penggunaan kecerdasan buatan (AI).

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *