JAKARTA – Wakil Gubernur Banten Ade Sumardi mengatakan transparansi publik bukan sekedar slogan. Ade mengaku merupakan salah satu pionir Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) Kabupaten Lebak. Padahal, komisi ini dibentuk sebelum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 “Tentang Keterbukaan Informasi Publik”.
Nantinya KTP Lebak ini menjadi percontohan nasional, baru-baru ini dibentuk Komisi Informasi di Provinsi Banten. Hal itu disampaikan Ade pada Rabu (16/10/2024) saat menanggapi subtopik keterbukaan informasi publik dalam debat calon Gubernur Banten di Jakarta.
Meski mendapat tanggapan dari calon Wakil Gubernur Dimyat Natakusumah, Ade menegaskan agar pimpinan harus memberikan bukti. Bukan hanya kata-kata. “Saat saya di DPRD Lebak, saya termasuk salah satu pionir pembuatan KTP, komisi transparansi dan partisipasi,” kata Ade.
Ia mengatakan transparansi bukan sekedar slogan, tapi sebuah kebutuhan. Perumusan rencana dan pelaksanaan APBD harus melibatkan partisipasi masyarakat.
“Transparansi itu soal rakyat. Artinya APBD harusnya di kantin, APBD harusnya di posko patroli, supaya benar-benar dipahami oleh semua masyarakat. Jadi transparansi itu bukan sekedar lip service, bukan sekedar slogan,” ucapnya.
Menurut dia, APBD bersumber dari uang rakyat yang penggunaannya harus sebesar-besarnya memberikan manfaat bagi rakyat. Jangan sampai masyarakat mengetahui hak Anda menggunakan APBD.
Transparansi otomatis menjadi kebutuhan, sehingga masyarakat berhak mengetahui apa yang perlu diketahui, termasuk APBD karena itu uang rakyat, kata Ade yang mendampingi Calon Gubernur Banten Ayrin Rachmi Diani. Pemilihan Gubernur Banten.
Oleh karena itu, mulai dari proses pembentukan anggaran di DPRD hingga pelaksanaannya, setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) harus terbuka sesuai dengan Undang-Undang 14/2008 “Tentang Keterbukaan Informasi Publik” (UU KIP).
“Ini hak mereka, tahu bagaimana merencanakan, tahu bagaimana melaksanakannya. Seharusnya mereka juga melaporkan berapa APBD kita, apa yang mereka rasakan dan ke mana akan disalurkan, sehingga orang lain tidak tahu apa yang dialokasikan. terhadap anggaran untuk anggaran Sehingga DPR dan eksekutif juga harus terbuka dan “Harus benar-benar terbuka. Bukan sekedar slogan,” ujarnya.
Mantan wakil bupati Lebak ini juga mengutip perkataan presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “Ingat kata-kata Gus Durr, kalau kita menunjuk seseorang, kita punya satu jari ke depan dan empat jari ke belakang, jadi jangan seperti itu,” ujarnya.
Ucapan Ade tersebut diduga menanggapi pernyataan Dimyati Natakusuma yang sempat menyampaikan pandangannya. Pemaparan Dimyati menyinggung minimnya transparansi di Banten.
Menurut dia, permasalahan Banten sebelumnya terkait dengan kurang transparannya perencanaan anggaran. Perencanaan tidak bersifat top-down (bottom-up), tidak untuk kepentingan individu, kelompok, atau pengusaha.
Dimyati juga mengatakan ada rekayasa dan monopoli sejak awal perencanaan anggaran hingga proses tender proyek pembangunan. “Kalau pengadaannya dicurangi, kalau pengadaannya dicurangi, menang lagi, menang lagi. Masalahnya yang terjadi adalah monopoli pembiayaan kegiatan sektor pendapatan,” ujarnya.
Menurutnya, pelaksanaan langkah-langkah pembangunan harus sesuai dengan rencana yang dibuat antara otoritas legislatif dan eksekutif. Hindari monopoli dan rekayasa dalam proses implementasi.
“Lihat permasalahan di Banten. Monopoli yang luar biasa ini terjadi setelah pembelian dilakukan. Kalau pengerahan tidak berjalan sesuai rencana, apa yang terjadi dengan pengerahan,” ujarnya.
“Dari awal perencanaannya disusun, anggarannya dikembangkan, pengadaannya dikembangkan, sisanya tinggal. Oleh karena itu, pelaksanaan ini harus sejalan dengan tata kelola yang baik,” lanjut mantan Wali Kota Pandeglang dua periode itu.