JAKARTA – Tiga ahli hukum pidana hadir dalam sidang permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Deputi Sumber Daya Manusia Bidang Pemberdayaan Satuan Negara dan Reformasi Birokrasi (Kamenpan RB) Alex Deny di kementerian. KUHP diajukan berdasarkan putusan perkara Nomor 163 K/Pid.Sus/2013.
Ketiga pakar hukum pidana unggulan tersebut berasal dari Universitas Pancasila Rocky Marban, Universitas Bena Nusantara Vidya Perhasasita, dan pakar hukum pidana dari Universitas Bena Nusantara Ahmed Sufyan. Dalam sidang permohonan PK di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Senin (18/11/2024), ahli menyoroti kejanggalan putusan Alex Denny, rangkaian putusan kontroversial, dan adanya kekeliruan atau kekeliruan yang nyata-nyata dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. para juri. Sebab, kasus Alex Denny tak lepas dari kasus Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah. Tiga di antaranya didakwa melakukan peristiwa atau perbuatan yang sama dengan unsur penyertaan sesuai Pasal 55 KUHP. Namun sejak awal, perkara ketiga terdakwa tersebut terpisah, bahkan terpecah-belah, sehingga melahirkan putusan-putusan lain yang bahkan bertentangan.
Rocky Marbin mengatakan, perpecahan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 142 KUHAP dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan Pasal 141 KUHAP yang menyebutkan jika perkara-perkara itu berkaitan satu sama lain harus. digabungkan Apabila dilakukan pembagian, susunan majelis hakim harus sama. Meski berbeda, hakim harus saling merujuk perkaranya untuk diperiksa oleh hakim lain, sehingga ada konsistensi logika hukum dan keseragaman penerapan hukum.
“Dalam penelitian saya sebelumnya belum pernah ada kasus yang dicampur aduk undang-undangnya, tapi putusannya yang satu dibebaskan dan yang lain dinyatakan bersalah. Saya belum pernah menjumpai kasus seperti itu, padahal putusannya berbeda-beda, misalnya satu. Yang satu divonis satu tahun, satu lagi divonis dua tahun,” kata Raki di hadapan majelis hakim.
Bahkan, pada tahun 2007, putusan banding Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan terdakwa Agus Utuyo dan terdakwa Tengku Heidi Safina tidak dinyatakan bersalah sehingga keduanya dibebaskan. Putusan tersebut diperkuat dengan putusan perkara Mahkamah Agung (MA). Selain itu, putusan Pengadilan Tinggi Bandung tahun 2008 yang diperkuat dengan putusan MA dalam perkara tahun 2013 menyatakan terdakwa X. Denny dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.
“Selama rangkaian perkaranya sama, maka perbedaan putusan dalam berkas pembagian ini bisa menjadi salah satu penyebab PK,” kata Rakhi.
Selain perbedaan penilaian, kesalahan atau kelalaian juri yang terlihat jelas juga menjadi alasan Alex Denny diajukan ke PC. Vidya Parhasasita menilai, menyoroti dakwaan Pasal 3 (Tapikor) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang dikenakan terhadap X. Deni. Menurut Vidya, Pasal 3 UU Tipikor secara historis mengacu pada pegawai negeri atau pejabat yang mempunyai kewenangan. Pasal ini tidak bersifat umum, sehingga pihak swasta tidak bisa dijerat Pasal 3 jika tinggal sendiri.
“Dalam serangkaian kasus, oknum swasta bisa dituntut berdasarkan Pasal 3, tapi tidak bisa dituntut sendirian. Mereka tidak bisa dituntut sendirian jika tidak ada unsur penanggung jawab negara lainnya,” kata Vidya.
Ia juga menyoroti penerapan Pasal 55 KUHP dalam dakwaan terhadap Alex Deny. Menurut Vidya, Pasal 55 KUHP mengatur tentang tindak pidana penyertaan, bahwa setiap pelaku kejahatan harus memenuhi kualifikasi tindak pidana yang bersangkutan.
Terkait kasus X-Dani, jika dua pelaku lainnya tidak dihukum karena memenuhi unsur pembenaran atau karena suatu acara tidak dinyatakan ilegal, sebaiknya seluruh peserta dibebaskan. Dua terdakwa lainnya harus dibebaskan, kemudian dakwaan terhadap yang lainnya harus dibatalkan.
“Aneh kalau tidak punya kapasitas melakukan kejahatan tapi dinyatakan bersalah. Peristiwa itu dibenarkan Pengadilan Tinggi Sindh dan tidak ada penyalahgunaan wewenang, tapi tiba-tiba ada oknum swasta yang mengecam undang-undang tersebut. Dan itu bisa jadi merupakan kesalahan nyata hakim,” kata Vidya.
Ahmad Sufian, pakar hukum pidana Universitas Bina Nasanara, menyoroti inkonsistensi penerapan doktrin sebab akibat dalam putusan kasus Alex Deny, Agus Yotiv, dan Tengku Heidi Safina. Menurut Ahmed, dalam kajian sebab akibat yang harus dicari adalah perbuatan melawan hukum yang menimbulkan akibat yang dilarang.
“Jika ada dua pelaku yang bekerjasama dengan pelaku ketiga sehingga menimbulkan kerugian negara, maka pelaku kedua tersebut ditetapkan tidak melawan hukum, tidak ada kerugian negara. Kedua pelaku tersebut tidak menimbulkan kerugian negara,” maka pelaku yang lain dapat juga tergolong perbuatan yang tidak merugikan negara,” tegas Ahmad.
Kasus ini bermula pada tahun 2003. Saat itu, Telecom menunjuk PT Pardiya Mitra Karti (PT PMK) yang dipimpin oleh Alex Denni untuk mengerjakan proyek akuisisi Job Analytics Consulting Services atau proyek DJM (Distinct Job Manual) terkait pemberdayaan SDM. dan manajemen. Proses pengadaan dan negosiasi ditangani oleh Agus Utoyo yang saat itu menjabat sebagai Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) dan Bisnis Pendukung (Niskung) Telkom, dan Tengku Hedi Safinah, HR Policy di Direktorat HR Niskung Telkom Beliau bekerja sebagai asisten. . Sebagai perwakilan Telkom. Nilai kontrak karya mencapai Rp 5.779.818.000. Proyek ini selesai pada bulan Juni 2004.
Pada tahun 2006, dilakukan penyidikan terhadap proyek tersebut oleh Kejaksaan Negeri (Kijari) Bandung atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan manipulasi proses kerja. Pada 2007, ketiganya, Agus Utoyo, Tengku Hedi Safina, dan Alex Denny, divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Bandung berdasarkan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. Kejanggalan bermula saat kasus tersebut disidangkan secara terpisah di tingkat banding. tingkat
Oleh Pengadilan Tinggi Bandung, Agus Otoyo dan Tengku Heidi Safina dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuduhan bahwa pengadaan tersebut dilakukan secara sah tanpa penyalahgunaan kekuasaan. Namun berbeda dengan keputusan Pengadilan Tinggi dalam Ikatan terhadap Alex Denny. Alex Denny awalnya dinyatakan bersalah dan membenarkan putusan tingkat pertama. Putusan Mahkamah Agung atas perkara tersebut menguatkan putusan Pengadilan Tinggi yang mengikat masing-masing terdakwa.