BOGOR – Wakil Ketua DPRD Jawa Barat Ivan Surijavan menekankan pentingnya melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, masyarakat setempat, organisasi masyarakat sipil, hingga institusi kesehatan, dalam upaya memerangi penyebaran HIV/AIDS di Jawa Barat.
Berdasarkan data terkini Dinas Kesehatan Jawa Barat, jumlah kasus HIV/AIDS pada tahun 2023 tercatat sebanyak 9.710 kasus, menurun menjadi 8.886 kasus pada tahun 2024. Penurunan juga tercatat pada jumlah penderita, yaitu dari 2.464 orang pada tahun 2023. menjadi 2.121. orang pada tahun 2024. Selanjutnya, kasus ibu hamil positif HIV/AIDS akan menurun dari 560 kasus pada tahun 2023 menjadi 275 kasus pada tahun 2024.
Sementara itu, laporan Kota Bogor menyebutkan pada Januari hingga Oktober 2024 terdapat 338 kasus HIV dan 123 kasus AIDS. Bahkan, angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang yakni 443 kasus HIV dan 177 kasus AIDS. Sedangkan, mayoritas penderita HIV berusia antara 25 dan 29 tahun, yakni mencapai 63 persen. Kemudian, usia 20 hingga 24 tahun sebesar 21,6 persen, disusul usia di atas 50 tahun sebesar 8,6 persen.
Meski menunjukkan tren penurunan, Ivan yang juga Bendahara DPV PKS Jabar ini mengingatkan, kasus HIV/AIDS masih terdeteksi setiap tahunnya. Ivan menekankan perlunya memperkuat upaya mitigasi agar penurunan ini dapat terjadi secara konsisten.
“Perang melawan HIV/AIDS tidak bisa bergantung pada pemerintah saja.” “Kerja sama lintas sektoral, termasuk partisipasi aktif masyarakat diperlukan untuk memutus rantai penyebaran HIV/AIDS,” kata Ivan, Senin (23/12/2024).
Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah deteksi dini melalui tes pada kelompok populasi kunci, seperti ibu hamil dan individu berisiko tinggi. Deteksi dini memungkinkan pasien mengakses layanan kesehatan yang tersedia dengan cepat.
Hingga saat ini, terdapat 384 fasilitas kesehatan di Jawa Barat, termasuk rumah sakit dan puskesmas, yang menyediakan layanan pengobatan HIV/AIDS. Selain itu, semua fasilitas ini menawarkan tes HIV gratis kepada masyarakat. Pemerintah juga mendistribusikan obat antiretroviral (ARV) secara gratis melalui program nasional.
Data uji tersebut digunakan untuk menentukan pengobatan selanjutnya dan langkah pengobatan agar layanan kesehatan dapat berfungsi lebih maksimal, kata Ivan.
Pendidikan menjadi salah satu pilar utama dalam penurunan HIV/AIDS di Jawa Barat. Kampanye terus digalakkan di sekolah, kampus, tempat kerja dan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang cara penularan HIV, pentingnya perlindungan diri dan mengurangi stigma terhadap ODHA (orang dengan HIV/AIDS).
Selain itu, pemerintah bekerja sama dengan organisasi seperti Jaringan Orang Terinfeksi HIV (JOTHI) dan beberapa LSM untuk menjangkau kelompok rentan, termasuk pekerja seks komersial, pengguna narkoba suntik, dan generasi muda.
Meski berbagai upaya telah dilakukan, namun masih terdapat tantangan, terutama dalam mengurangi stigma sosial terhadap ODHA. Stigma seringkali membuat pasien enggan membuka diri kepada keluarga atau komunitasnya, bahkan memilih menjalani pengobatan di luar daerah untuk menjaga kerahasiaan.
“Pendidikan seksualitas yang baik harus dimulai sejak usia muda, terutama di sekolah menengah atas.” “Orang tua juga harus berperan aktif dalam memahami anak agar terhindar dari perilaku berisiko,” kata Ivan.
Ivan menambahkan, keluarga berperan penting dalam memberikan dukungan emosional dan sosial kepada ODHA. Dukungan ini dapat membantu pasien menjalani pengobatan secara teratur dan mengurangi dampak psikologis dari stigma.
Dengan berbagai langkah mitigasi yang dilakukan, Ivan optimistis Jabar bisa mencapai tujuan penurunan kasus HIV/AIDS secara signifikan pada tahun 2030. Namun, Ivan mengingatkan bahwa keberhasilan tersebut memerlukan kerja sama yang erat antara provinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat.
“Pendidikan, deteksi dini dan pengurangan stigma harus terus digalakkan.” “Kita harus memastikan bahwa generasi mendatang lebih terlindungi dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang HIV/AIDS,” katanya.